visitaaponce.com

Ancaman Kekeringan di Musim Kemarau, Perlu Pemanfaatan Sumber Air yang Efektif

Ancaman Kekeringan di Musim Kemarau, Perlu Pemanfaatan Sumber Air yang Efektif
Ilustrasi; penyaluran air bersih akibat kekeringan(Dok. PMI )

BADAN Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau 2023 akan lebih kering dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal itu disebabkan adanya fenomena iklim El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD).

Menanggapi itu, pakar iklim dari Universitas Gadjah Mada Emilya Nurjani mengungkapkan, untuk mengantisipasi potensi kekeringan di sejumlah daerah, perlu dilakukan pemanfaatan sumber air secara efektif dan efisien.

"Perlu adanya prioritas pemanfaatan sumber air tersedia untuk keperluan air baku untuk air bersih. Misalnya air tanah digunakan untuk kebutuhan air domestik, irigasi menggunakan air permukaan sungai dan waduk atau embung, menampung air hujan jika masih turun hujan," kata Emilya saat dihubungi, Selasa (6/6).

Baca juga: Sembilan Kecamatan di Kabupaten Malang Rawan Kekeringan

Selain itu perlu membuat embung atau penampung air hujan untuk kebutuhan jangka pendek. Air hujan yang masih ada ditampung ke dalam embung yang bermanfaat sebagai ketersediaan air untuk tanaman dan pengisian air tanah tidak tertekan.

"Selain itu pembuatan penampungan air hujan (PAH) dengan bentuk tandon untuk kebutuhan rumah tangga ataupun sumur resapan. Itu bermanfaat mengisi air tanah tidak tertekan dan menaikkan tinggi muka air tanah," beber dia.

Baca juga: Kekeringan Mulai Landa Sejumlah Kawasan di Pantura Jawa Tengah

Emilya menegaskan bahwa kelembaban tanah yang cukup tinggi akan mengurangi potensi terbakarnya lahan atau hutan. juga meningkatkan potensi hidup tanaman.

"Selain itu melakukan perlindungan sumber air yang tersedia. Melakukan konservasi telaga di daerah karst, konservasi mata air di lereng gunung atau bukit dan tekuk lereng," beber dia.

Langkah mitigasi lainnya ialah dengan penanaman pohon di daerah-daerah marginal dan daerah resapan air untuk meningkatkan fungsi hidrologis.

"Banyaknya pohon meningkatkan proses transpirasi yang menghasilkan uap air sebagai bahan pembentukan awan-awan kecil atau cloud forest," jelas dia.

Ia menjelaskan, El Nino dan La Nina atau ENSO merupakan fenomena iklim di Samudra Pasifik yang disebabkan oleh anomali suhu permukaan laut antara pantai barat Amerika hingga wilayah barat Samudra Pasifik di bagian timur.

Adapun, Indian Ocean Dipole (IOD) merupakan fenomena yang mirip di Samudra Hindia, pantai barat Sumatra hingga pantai timur Afrika.

Implikasi dari El Nino menyebabkan uap air di wilayah barat Samudra Pasifik termasuk Indonesia dibawa ke wilayah timur Samudra Pasifik yang lebih hangat, menyebabkan potensi pembentukan awan dan peluang terjadi hujan tinggi di wilayah ini.

"Akibatnya pembentukan awan di Indonesia dan wilayah sekitarnya berkurang, sehingga berpotensi mengalami kekeringan ditambah saat ini Indonesia memasuki musim kemarau karena adanya monsun Australia," ucap dia.

Emilya menjelaskan, data prediksi yang dikeluarkan oleh NASA, sejak tahun 2020 hingga sekarang indeks IOD bernilai negatif berdampak kekeringan di sebagian wilayah Indonesia tetapi pada saat yang sama (tahun 2020 hingga 2023 awal) Indonesia mengalami La Nina, yang membawa hujan, sehingga dampak IOD negatif tidak terlalu dirasakan.

"Prediksi dari BOM Australia memperlihatkan indeks negatif SOI (El Nino) mulai bulan Maret hingga sekarang. Nilai ini mirip kondisi EL Nino tahun 2015-2016 yang menyebabkan Karhutla di banyak wilayah Sumatra dan Kalimantan," ucap dia. (Ata/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat