visitaaponce.com

Butuh Solusi Atasi Kekerasan Seksual di Industri Garmen

Butuh Solusi Atasi Kekerasan Seksual di Industri Garmen
(KEMNAKER)

ALIANSI Pekerja/Buruh Garmen Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI) menyebut sektor garmen di Tanah Air didominasi pekerja perempuan. Namun, ironisnya, angka kekerasan dan pelecehan seksual di industri garmen terbilang cukup tinggi. 

Merujuk pada studi Perempuan Mahardika 2017, APBGATI mengungkap 56,5% dari 773 buruh perempuan yang bekerja di 38 perusahaan garmen pernah mengalami pelecehan seksual di pabrik. Dari 437 buruh perempuan korban pelecehan seksual, sebanyak 93,6% tidak melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya.

Better Work Indonesia (BWI), kemitraan International Labour Organization (ILO) dan International Finance Corporation (IFC), dengan dukungan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT), juga mengungkapkan, perempuan pekerja sektor garmen ini berisiko lebih besar dalam keselamatan secara mental dan fisik. Kondisi itu diperparah dengan kurangnya keterwakilan perempuan di forum konsultatif, komite pekerja-manajemen, dan pengurus serikat pekerja.

Baca juga: Instagram paling Dimanfaatkan Jaringan Pelecehan Seksual Anak

Ketua tim pelatihan BWI Shelly Woyla Marliane mengatakan diskriminasi berbasis gender di industri garmen terjadi mulai dari proses rekrutmen hingga produksi. “Kondisi kerja yang buruk ini begitu dianggap normal dan sangat jarang dibahas, membuat ketidaksetaraan gender jadi masalah terbesar bagi salah satu produsen barang ekspor terpenting di negeri ini,” katanya.

BWI menyampaikan Indonesia merupakan salah satu produsen garmen dan tekstil terpenting di dunia. Negara ini menguasai 2,4% pangsa pasar global, peringkat keenam pemasok dunia. Dari 5,2 juta pekerja sektor garmen, dan pekerja perempuan merupakan tenaga kerja dominan di semua pabrik garmen dan tekstil di Tanah Air.

Tingginya potensi pelecehan seksual di sektor garmen ini juga menjadi perhatian DPR RI. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Baleg DPR RI dengan APBGATI, beberapa waktu lalu, Anggota Badan Legislasi DPR RI Luluk Nur Hamidah menegaskan perempuan pekerja di kawasan pabrik sangat rentan mendapatkan kekerasan seksual.

Baca juga: Penanganan Semua Kasus Kekerasan Seksual Wajib Gunakan UU TPKS

Kekerasan seksual itu, menurut Luluk, dimulai sejak mereka membutuhkan pekerjaan, bertemu calo/agen, hingga saat di tempat kerja karena adanya ketimpangan relasi sosial (atasan-bawahan).

“Kekerasan seksual itu sebagai suatu hal tidak main-main. Suatu yang nyata, yang membuat posisi pekerja garmen sangat powerless, marginal, dan mereka tidak mengetahui harus melakukan apa, karena di sana ada kepentingan yang harus mereka jaga, mulai dari soal ekonomi, keluarga, dan sebagainya,” ujar Luluk.

Akhir tahun lalu, kasus pelecehan seksual misalnya terjadi di sebuah pabrik garmen di Jepara, Jawa Tengah. Seorang karyawati PT Hwaseung Indonesia (HWI) diduga mengalami pelecehan seksual dari atasannya. Korban sendiri telah melaporkan kejadian itu kepada kepolisian.

Kebijakan Kepmenaker

BWI pada 2019 lalu melakukan survei perihal kekerasan seksual di industri garmen. Hasilnya, sekitar 80% pekerja garmen menaruh kepedulian pada isu pelecehan seksual di tempat kerja. Manajer Program BWI Maria Vasquez menyatakan survei anonim tersebut mengungkapkan bahwa empat dari lima orang pekerja menyatakan menaruh perhatian terhadap isu pelecehan seksual.

Ia menambahkan bahwa survei tersebut tidak berarti menunjukkan para pekerja garmen yang sebagian besar perempuan itu telah menjadi korban pelecehan seksual. “Namun, mereka peduli,” katanya.

Baca juga: Pemerintah, Pengusaha, dan Pekerja Deklarasikan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja 

Maria juga menyebutkan bahwa BWI menemukan situasi ketika pelecehan seksual dianggap sebagai isu yang sangat sensitif untuk dibahas karena menyangkut reputasi perusahaan. Misalnya, di beberapa perusahaan garmen terkemuka yang memiliki pabrik pembuatan di Indonesia, kasus pelecehan seksual cenderung menjadi tabu untuk dibahas di lingkungan kerja mereka.

Khusus di lingkungan pabrik, Maria menyebutkan pekerja harus bergelut dengan bentuk-bentuk pelecehan, seperti sentuhan tidak patut, candaan yang tidak patut, serta perilaku tak pantas. Untuk menghapuskan kekerasan dan pelecehan seksual pada tempat kerja, BWI menilai harus ada kebijakan yang tegas perihal masalah tersebut di pabrik garmen maupun di perusahaan secara umum.

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) berupaya melindungi pekerja dari ancaman kekerasan seksual lewat sejumlah aturan. Yang terbaru, Kemnaker menerbitkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI (Kepmenaker) Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.

Kepmenaker yang merupakan pembaruan dari SE Menaker tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja itu diharapkan jadi angin segar dalam upaya pemberantasan kekerasan seksual di lingkungan kerja. (RO/S-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Chadie

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat