visitaaponce.com

Uji Kesetaraan Merupakan Upaya dari Implementasi Pendidikan Inklusif

Uji Kesetaraan Merupakan Upaya dari Implementasi Pendidikan Inklusif
Ilustrasi MI(MI/Duta )

KEPALA Badan Standar Kurikulum dan Asesmen (BSKAP) Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) Anindito Aditomo menyampaikan uji kesetaraan merupakan bagian dari upaya pemerintah mengimplementasikan pendidikan yang inklusif.

Uji kesetaraan, kata Anindito, dapat memberikan kesempatan untuk semua siswa yang semula menempuh pendidikan di informal atau nonformal kemudian ingin beralih ke pendidikan formal. Selain itu, layanan uji kesetaraan juga dapat dimanfaatkan bagi siswa yang ingin mendapatkan pengakuan dari negara terhadap hasil belajar mereka di pendidikan informal.

“Secara legalnya memang dikatakan uji kesetaraan itu menyetarakan dengan pendidikan formal. Tetapi dalam perkembangan waktu, kami menyadari bahwa yang perlu disetarakan itu ternyata adalah hasil belajar para siswa terhadap standar nasional, bukan terhadap pendidikan formalnya. Karena ada variasi yang sangat besar juga di pendidikan formal,” jelas Nino, panggilan akrab Anindito dalam diskusi ‘Uji Kesetaraan untuk Pendidikan yang Berkualitas’ di Youtube Kemendikbud RI, Jumat (16/6).

Baca juga: Implementasi Aturan Belum Maksimal, Kekerasan Seksual Marak di Lingkungan Pendidikan

Di sisi lain, Nino juga menyampaikan kualitas dan hasil belajar dari jalur nonformal dan informal juga sangat beragam, sama halnya dengan pendidikan yang ada di jalur formal. Ada sekolah dengan kualitas yang bagus dan ada yang kurang bagus. Karena itu, ia berharap secara substansi kebijakan yang dilakukan oleh uji keseteraan ini adalah membandingkan hasil belajar para siswa dari nonformal dan informal terhadap standar kompetensi lulusan untuk diterapkan dalam asesmen nasional.

“Jji kesetaraan merupakan layanan dari kami, bagi teman-teman yang ada di pendidikan nonformal dan informal untuk bisa mendapatkan pengakuan yang terstandar dari pemerintah terhadap hasil belajarnya. Paling tidak, sekarang kita mengukur literasi dan numerasi. Dua komponen penting dari standar kompetensi kelulusan yang ada di dalam permendikbud sekarang,” kata dia.

Baca juga: Pemerintah Diharapkan Perhatikan Permasalahan Pendidikan Nonformal

Selain itu, sebagai layanan uji kesetaraan tidak bersifat wajib. Nino juga menyebut secara regulasi untuk semua peserta didik di nonformal dan informal tidak wajib mengikuti uji kesetaraan.

“Kalau tidak ikut pun, tidak apa-apa. Ini merupakan layanan bagi anda yang memerlukannya. Kalau perlu sebuah pengakuan, dokumen, entah itu sertifikat hasil uji kesetaraan yang resmi, otoritatif dan menunjukkan kemampuan literasi dan numerasi anda semua sebagai hasil belajar setelah mengikuti ujian nonformal dan informal, ya silakan” imbuhnya.

Uji kesetaraan juga tidak menentukan kelulusan dari satuan pendidikan. Nino mengungkapkan pihaknya juga akan melakukan elaborasi lebih lanjut bahwa uji kesetaraan, baik keikutsertaan maupun hasil dari siswa, tidak menjadi syarat bagi PPDB untuk mengikuti penerimaan siswa baru di kelas VII SMP (1 SMP) atau kelas X (1 SMA).

“Tidak perlu ikut uji kesetaraan ini, bahkan ikut serta itu tidak harus. Karena syarat mengikut PPDB sebagai siswa baru itu hanya memenuhi batasan usia, memiliki ijazah atau dokumen yang menyatakan kelulusan dari jenjang yang sebelumnya. Bukti kelulusan dan memenuhi usia, itu adalah dua syarat dari mengikuti PPDB, tidak harus ada uji kesetaraan,” terangnya.

Sementara itu, Akademisi Universitas Pendidikan Indonesia Elih Sudiapermana mengingatkan agar niat baik dari layanan uji kesetaraan tidak kontraproduktif. Perlu dipastikan bahwa persepsi terkait uji kesetaraan sudah sama dengan semangat Kemendikbud-Ristek.

“Istilah setara dengan formal itu sudah usang, perspektif di masa dulu. Sekarang setara untuk mencapai kompetensi lulusan. Itu pergeseran yang luar biasa. Pengakuan pemerintah sesuai dengan UU terhadap cara orang mengambil pilihan belajar di tiga jalur yang diakui oleh negara ini menjadi sesuatu yang memang dirasakan adil oleh semua masyarakat,” ucap Elih.

“Esensi menyetarakan hasil yang diperoleh dalam capaian pada standar kompetensi lulusan menurut saya catatan penting yang harus terus disosialisasikan. Kenapa pilihan itu dipilih dan lainnya, itu nanti akan dipahami oleh semua pihak. Jangan sampai nanti kontraproduktif dari niatnya sendiri,” pungkasnya (Dis/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat