visitaaponce.com

Wacana Transformasi Pendidikan Tinggi, Tanpa Skripsi Mahasiswa Tetap Punya Kompetensi Saat Lulus

Wacana Transformasi Pendidikan Tinggi, Tanpa Skripsi Mahasiswa Tetap Punya Kompetensi Saat Lulus
Rektor Universitas Syah Kuala Aceh Prof. Dr. Ir. Marwan memindahkan pada wisuda sarjana. Ada wacana lulus S1 tidak harus membuat skripsi.(MI/Amiruddin Abdullah Reubee)

ADA wacana Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim akan meluncurkan peraturan terkait standar nasional dan akreditasi pendidikan tinggi. Salah satu yang diatur sebagai kerangka berkerja atau framework adalah syarat kelulusan S1 perguruan tinggi di Indonesia  yang tidak lagi mengharuskan mahasiswa membuat skripsi.

Bergulirnya wacana penghapusan skripsi untuk tugas akhir bagi mahasiswa cukup menguat belakangan ini lantaran sudah dilakukannya uji publik.

Wacana ini dikaitkan juga dengan begitu cepatnya perubahan-perubahan global yang terjadi saat ini. Dimulai masuknya era digital, yang mengubah cara pandang masyarakat global terhadap mutu lulusan pendidikan tinggi. Sarjana tidak hanya dituntut cakap dalam ilmu, tetapi juga cakap dalam menangkap peluang usaha dan pekerjaan di masa mendatang.

Kedua adalah saat dunia mengalami pandemi Covid-19 menciptakan banyak inovasi baru yang membuka peluang usaha, dan lahirnya bermacam jenis pekerjaan yang semula tidak pernah dibayangkan.

Perguruan tinggi merespons itu dengan cepat. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum mengatakan bahwa wacana tersebut cukup positif karena perguruan tinggi terus beradaptasi menghadapi perubahan global.

"Sebetulnya wacana itu bukan hal yang mengejutkan karena ini bagian dari mengakhiri masa studi mahasiswa untuk lebih berkompeten. Di Universitas Indonesia seperti di Fakultas Ilmu Budaya sudah melakukannya sekitar lima tahun ini," kata Zuhdi kepada Media Indonesia, Jumat (26/8)

Sejarawan maritim ini menjelaskan bahwa skripsi masih ada, namun mahasiswa diberi banyak pilihan dalam menuntaskan tugas akhir. Ini juga sebagai konsep Merdeka Belajar, bahwa mahasiswa bisa memiliki banyak pilihan dalam menyelesaikan tugas akhir sebelum meraih gelar sarjana.

"Ada yang tetap membuat skripsi, ada juga yang magang kerja untuk riset di laboratorium, di perpustakaan maupun di perusahaan. Mereka yang magang kerja tetap membuat laporan tugas akhir. Ada juga membuat artikel ilmiah yang nantinya masuk ke jurnal di UI bahkan jurnal internasional," paparnya.

Artikel yang dibuat sekitar 30 halaman, namun memiliki kualitas atau mutu karena mendapat tinjauan dari dosen di bidangnya.
"Artikel dengan 20 halaman, 30 halaman hasilnya bagus dan di balik itu para mahasiswa juga susah membuatnya," sambungnya.

Dari situlah terlihat bagaimana mahasiswa memiliki kompetensi di bidangnya dan merespons perkembangan zaman.

"Saya lihat bahwa kajian-kajian yang ditulis para mahasiswa ini bukan sekadar artikel. Tapi ada benefitnya, tidak hanya sekedar konsep teori tetapi juga melihat dampak ekonominya. Jadi ini bagus," ujar Zuhdi.

Dengan demikian, mahasiswa memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk menuntaskan tugas akhir yang nantinya berimbas positif saat mereka lulus dan masuk sektor kerja.

Menurut Zuhdi, dengan adanya kebebasan ini nantinya para sarjana tersebut diharapkan bisa menjawab kebutuhan masyarakat.

baca juga: Capaian Kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

Sekretaris Jurusan Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepri, Dr Anastasia Wiwik Swastiwi MA mengatakan wacana ditiadakan skripsi ini bisa meringankan mahasiswa. Namun ia tetap berharap ada banyak pilihan

"Bagusnya, tetap ada pilihan-pilihan. Ada skripsi, ada juga magang kerja selama 6 bulan. Saya pribadi, skripsi tetap sebuah pertanggungjawaban akademik calon sarjana. Karena di situ dipertaruhkan keilmuan dan belajar menganalisis masalah, teori dan metodologi sesuai bidangnya," kata Wiwik yang juga dikenal sebagai peneliti Melayu Kepri.

Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, Ph.D menyatakan bahwa perubahan kebijakan Standar Nasional Pendidikan Tinggi dan Sistem Akreditasi yang yang sudah diuji publik sangat dinanti-nantikan oleh perguruan tinggi, masyarakat dan pemangku kepentingan.

Perubahan kebijakan ini sejalan dengan kebijakan Kampus Merdeka dan perkembangan/tuntutan dunia kerja. "Di saat yang bersamaan, tentu saja dunia kerja perlu standar pendidikan tinggi yang lebih fleksibel. Harapannya, kebijakan  baru ini dapat mewadahi perguruan tinggi untuk menetapkan standarnya sesuai dengan karakteristiknya. Harapannya, penetapan standar pendidikan tinggi yang baru dapat mengakselerasi perguruan tinggi," ujarnya, Senin (28/8).

“Kita nantikan Mendikbudristek meluncurkan kebijakan yang sangat dinanti dunia pendidikan tinggi ini,” tutup Tjitjik.(N-1)
 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat