visitaaponce.com

PM tidak Bisa Jadi Satu-Satunya Indikator Pengukur Kualitas Udara

PM tidak Bisa Jadi Satu-Satunya Indikator Pengukur Kualitas Udara
Aktivis Greenpeace Indonesia membentangkan poster yang menampilkan angka indeks kualitas udara yang buruk di Jakarta.(Antara)

Partikulat Matter atau PM tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya indikator untuk menentukan baik atau buruknya kualitas udara. Dosen Kimia FMIPA UI Agustino Zulys mengungkapkan, pengukuran kualitas udara harus dilakukan secara holistik, dengan menyertakan tingkat senyawa lainnya seperti karbon monoksida (CO2), sulfur dioksida (Sox), nitrogen oksida (NOx), ozon hingga timbal.

“PM ini kan dalam proses pengukurannya bukan hanya zat pencemar yang merugikan. Bahkan zat yang lain pun ikut terukur olehnya. Karena itu penentuan PM menjadi pencemar udara ini masih debatable. Kita harus melihat secara keseluruhan,” kata Agustino dalam kuliah umum Universitas Indonesia bertajuk Pandangan Ilmu Lingkungan terhadap Polusi Udara di Indonesia, Senin (25/9).

Ia menjelaskan, PM merupakan campuran partikel padat dan cairan yang ada di udara, di antaranya debu, tanah, logam, zat organik, smog dan sebagainya. PM dibagi menjadi dua berdasarkan ukuran, yakni PM 10 berukuran kurang dari 10 mm dan PM 2,5 berukuran 2,5 mm.

Baca juga: Pengamat: Percayakan Penanganan Polusi Udara pada Pemerintah

Adapun, alat pengukur PM ialah beta attenuation monitor (BAM). Cara kerjanya ialah, alat itu. Mengukur semua partikulat yang dihisap, kemudian dilakukan pemutaran sehingga partikel berukuran besar dan kecil terpisahkan.

Lalu, partikel kecil dilewatkan antara lembar karbon radioaktif yang mengeluarkan partikel beta dan detektor sinar beta. Partikel kecil akan menghalangi partikel beta menuju detektor. Semakin banyak partikel, detektor akan lebih sedikit menerima sinar beta.

Baca juga: Jangan Salah, Polusi Udara Tidak Hanya Terjadi Di Luar Ruangan

Sinar beta yang ditangkap detektor dikonversi ke satuan mg/m2 dengan prinsip spektrofotometri hukum Lambert Beer. Nilai tersebut kemudian dikonversi menjadi indeks kualitas udara (AQI) yang kini banyak digunakan sebagai tolak ukur.

“Kita lihat dari data 2020 sampai 2022 PM2,5 ini puncaknya di Mei sampai September. Ini kan pada musim panas, temperatur tinggi, banyak angin dan sebagainya,” ucap dia.

Butuh Parameter Lain

Menurut dia, untuk melihat pengukuran kualitas udara yang komprehensif, dibutuhkan parameter lain, bukan hanya PM saja. Perlu ada pengukuran CO2 yang disebabkan oleh pembakaran tidak sempurna, SOx yang merupakan senyawa dari pembakaran batu bara serta abu vulkanik, NOx dari pembakaran sektor transportasi dan industri hingga ozon.

Di samping itu, ada juga partikulat lain yang menjadi indikasi buruknya kualitas udara, yakni VOC yang dihasilkan dari bahan pelarut dan pembersih yang terlepas ke lingkungan hingga senyawa yang ditimbulkan akibat pembakaran sampah seperti dioksin, karsinogen, benzena, poliaromatik hingga logam berbahaya.

“Untuk itu, diperlukan kontrol kualitas udara real time yang lebih reliable,” kata dia.

Lebih jauh, untuk mengatasi polusi udara dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, industri dan masyarakat. Mulai dari pembuatan regulasi yang komperhensif, kebijakan clean energy, pengembagan riset di lembaga dan kampus hingga mendorong masyarakat mengurangi emisi dengan beralih ke transportasi publik.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat