visitaaponce.com

Bahasa dan Sastra Bentuk Karakter Bangsa

Bahasa dan Sastra Bentuk Karakter Bangsa
Cendikiawan Yudi Latief di Festival Bahasa dan Sastra Indonesia(MI/Usman Iskandar)

SEBAGAI rumah kehidupan, upaya perjuangan dan kebangkitan apa pun harus bermula dari bebenah kata, bahasa dan susastera, dengan jalan merebut dan menghidupkan kembali darah kata. Hal itulah yang dikemukakan Cendekiawan Yudi Latief dalam pidato kebudayaan di Festival Bahasa dan Sastra Media Indonesia, Jumat (27/10).

Menurut dia, bahasa dan sastra memiliki daya imajinasi yang luar biasa terhadap keberadaan Indonesia, eksistensi dan masa depan Indonesia. Keduanya juga bisa membentuk karakter bangsa.

Misalnya saja setelah pemakaian nama Indonesia yang secara resmi terikrar dalam sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928. Setelah itu hampir kebanyakan organisais pergerakan mencantumkan nama Indonesia di belakangnya.

Baca juga : Kebangkitan Pemuda Berakar dari Kata dan Bahasa

"Dan sejak sumpah pemuda, dan 17 tahun kemudian Indonesia merdeka, sekali Indonesia menjadi perebut tidak bisa dijajah kembali," ucap dia.

Tak salah, lanjut dia, jika Partha Chatterjee, pemikir India dan Reynaldo Ileto, pemikir Filipina, mengakarkan nasionalisme bukan hanya pada mesiu, perundingan, kognisi barat, dan kapitalisme percetakan, melainkan pada emosi yang dipancarkan puisi dan daya kata.

"Taruhlah, gerakan kebangkitan dan kebangsaan Indonesia. Budi Utomo bukanlah yang pertama dan satu-satunya aktor kebangkitan. Ia sekadar monumen dari arus sejarah kebangkitan yang melewati fase persiapan, fase pembentukan dan fase pematangan. Di sepanjang lintasan fase pergerakan ini, perjuangan kata dan bahasa sebagai penanda baru memainkan peran penting," beber Yudi.

Baca juga : Menepis Stigma, Jurusan Bahasa dan Sastra Terus Berkembang

Ia bilang, perjuangan kata sebagai tonggak kebangkitan bermula pada akhir abad ke 19, distimulasi oleh kehadiran secara embrionik ruang publik modern di Indonesia, yang dulu dikenal dengan nama Hindia..

Ruang publik yang dimaksud adalah domain tempat wacana dan opini publik diekspresikan serta tempat kegiatan-kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan.

Ia menyatakan, bibit-bibit kelahiran ruang publik modern di Hindia dimungkinkan oleh dampak ikutan dari penerapan ekonomi liberal pada paruh akhir abad ke-19, yang bertanggung jawab dalam mendorong pendirian pers-pers berbahasa lokal serta dalam penyebarluasan klub-klub sosial bergaya Eropa.

Baca juga : Platform Baca Digital Alternatif Tingkatkan Literasi Generasi Muda

"Lewat proses pendidikan dan mimikri dan dengan cara membaca pers vernakular yang didirikan oleh orang Eropa dan kemudian juga oleh orang keturunan Tiongkok, serta dengan membentuk perhimpunan-perhimpunan, inteligensia pribumi pada akhirnya bisa menciptakan ruang publiknya sendiri," beber Yudi.

Wacana dominan pada fase kecambah ruang publik modern ini berkisar pada isu kemadjoean. Kemadjoean dalam arti ini mengekspresikan suatu kehendak untuk mencapai status sosial yang ideal, baik sebagai individu maupun komunitas imajiner, yang meliputi banyak hal, yakni kemajuan pendidikan, modernisasi , kehormatan dan keberhasilan dalam hidup.

"Sampai akhir abad ke-19, peran para guru dalam mempromosikan wacana kemadjoean sangatlah menonjol, setidaknya karena dua alasan," ucap dia.

Baca juga : Festival Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Memperkaya Khazanah Kebudayaan

Pertama, profesi guru hingga masa ini menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai para pendidik, mereka merupakan pihak yang paling merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara-saudara sebangsanya.

Kedua, fakta bahwa profesi guru kurang dihargai jika dibandingkan dengan posisi-posisi administratif mungkin telah menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator dari konsep kemadjoean dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan privilese sosial.

"Peran yang menonjol dari para guru ini menunjukkan bahwa intelektual organik dari bibit inteligensia pada akhir abad ke-19 ini terutama berasal dari lingkaran-lingkaran para guru," jelas Yudi.

Baca juga : Badan Bahasa Dukung Media Indonesia Selenggarakan Festival Bahasa dan Sastra 2023

Dengan trajektori kemadjoean yang telah dirintis kaum guru, sedini awal dekade pertama abad ke-20, terjadilah fase formatif ruang publik modern. Sejauh mengenai perkembangan pers vernakular, dekade pertama abad ke-20 merupakan momentum paling penting dalam sejarah keterlibatan kaum pribumi dalam bidang tersebut.

Singkat cerita, salah satu tonggak penting dalam membangun gerakan kebangkitat berbasis bangsawan pikiran ialah perkumpulan Budi Utomo pada 1908. Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan priyayi tua dalam melindungi kepentingan rakyat, pada awalnya Budi Utomo bermaksud memperjuangkan kepemimpinan kaum muda.

"Maka tanda baru segera dicipta, tanda yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan, dan bekhidmat sepenuhnya pada pikiran. Tanda itu bernama kaum terpelajar atau ‘emuda-pelajar, atau seringkali diungkapan dalam bahawa Belanda, jong. Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Natsir dibesarkan," jelas Yudi.

Baca juga :  Festival Bahasa dan Sastra Media Indonesia 2022 Momentum Mempererat Persatuan

Lantas Yudi bertanya, apabila gerakan kebangkitan di masa lalu berhasil memancangkan pikiran dan keberaksaraan sebagai tanda kemajuan, lantas tanda apakah gerangan yang kita ciptakan masa kini, seabad setelah Budi Utomo berdiri? Menurut dia, inilah pertanyaan genting yang harus dicermati.

"Terdapat tanda-tanda bahwa pikiran dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Inteligensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta, karena kepintaran kembali dihinakan oleh kebangsawanan baru kroni dan kemewahanterdapat indikasi bahwa pikiran dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan," kata Yudi.

Namun, ia meyakini dalam ketiadaan platform politik yang jelas, gerakan kebudayaan menjadi alternatif menjaga kewarasan publik. "Adalah melalui sastra, nyanyian dan seni yang lain yang dibudayakan dalam masyarakat yang bisa membuat gerakan dan cita-cita sosial bisa bertahan dalam memori kolektif," pungkas Yudi.

Baca juga : Pembacaan Puisi Ramaikan Puncak Indonesia Sejati Festival Bahasa dan Sastra

Pada kesempatan itu, Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Agus Sutoyo mengungkapkan, kecintaan terhadap sastra telah mendarah daging di nenek moyang bangsa Indonesia.

"Misalnya saja di kitab Arjuna Wiwaha yang dibuat dan diliterasikan oleh nenek moyang kita 1300 tahun lalu, sudah dilahirkan literasi baca tulis. Kemudian naskah kuno lain seperti babat Diponegoro, Negara Kertagama dan terbaru hikayat Aceh, semuanya merupakan literasi bahasa dan sastra," beber Agus.

Selain itu, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia juga dikenal sangat mencintai dan tidak terlepas dari sasrta. Misalnya saja Soekarno yang bahkan tulisan-tulisan cintanya kepada Fatmawati didokumentasikan dengan baik hingga saat ini.

Baca juga : Remy Sylado Ciptakan Puisi Khusus untuk Galang Donasi

"Lalu Bung Hatta, setiap ungkapan dia, bahkan saat bicara tentang koperasi, ekonomi, selalu diselimuti dengan bahasa dan sastra," ucap dia.

Untuk itu, apapun bentuknya, sastra dan bahasa akan selalu berpengaruh pada kebudayaan Indonesia saat ini. Karenanya, perkembangannya harus terus melesat dan jangan sampai ditinggalkan oleh generasi muda. (Z-5)

Baca juga : Dari Sayembara Cerpen sampai Lelang Puisi, Media Indonesia Gelar Festival Bahasa dan Sastra

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat