visitaaponce.com

Kebangkitan Pemuda Berakar dari Kata dan Bahasa

Kebangkitan Pemuda Berakar dari Kata dan Bahasa
Ilustrasi(Dok MI)

SEBAGAI rumah kehidupan, upaya perjuangan dan kebangkitan apa pun harus bermula dari bebenah kata, bahasa dan sastra,dengan jalan merebut dan menghidupkan kembali darah kata, terutama di kalangan pemuda

Hal itulah yang dikemukakan Cendekiawan Yudi Latief dalam pidato kebudayaan di Festival Bahasa dan Sastra Media Indonesia, Jumat (27/10).

Tak salah, lanjut dia, jika Partha Chatterjee, pemikir India dan Reynaldo Ileto, pemikir Filipina, mengakarkan nasionalisme bukan hanya pada mesiu, perundingan, kognisi barat, dan kapitalisme percetakan, melainkan pada emosi yang dipancarkan puisi dan daya kata.

Baca juga : Bahasa dan Sastra Bentuk Karakter Bangsa

"Taruhlah, gerakan kebangkitan dan kebangsaan Indonesia. Budi Utomo bukanlah yang pertama dan satu-satunya aktor kebangkitan. Ia sekadar monumen dari arus sejarah kebangkitan yang melewati fase persiapan, fase pembentukan dan fase pematangan. Di sepanjang lintasan fase pergerakan ini, perjuangan kata dan bahasa sebagai penanda baru memainkan peran penting," beber Yudi.

Ia bilang, perjuangan kata sebagai tonggak kebangkitan bermula pada akhir abad ke 19, distimulasi oleh kehadiran secara embrionik ruang publik modern di Indonesia, yang dulu dikenal dengan nama Hindia.

Ruang publik yang dimaksud adalah domain tempat wacana dan opini publik diekspresikan serta tempat kegiatan-kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan.

Baca juga : Bahasa dan Susastra untuk Kebangkitan

Ia menyatakan, bibit-bibit kelahiran ruang publik modern di Hindia dimungkinkan oleh dampak ikutan dari penerapan ekonomi liberal pada paruh akhir abad ke-19, yang bertanggung jawab dalam mendorong pendirian pers-pers berbahasa lokal serta dalam penyebarluasan klub-klub sosial bergaya Eropa.

"Lewat proses pendidikan dan mimikri dan dengan cara membaca pers vernakular yang didirikan oleh orang Eropa dan kemudian juga oleh orang keturunan Tiongkok, serta dengan membentuk perhimpunan-perhimpunan, inteligensia pribumi pada akhirnya bisa menciptakan ruang publiknya sendiri," beber Yudi.

 

Baca juga : Menepis Stigma, Jurusan Bahasa dan Sastra Terus Berkembang

Peran para guru dalam memajukan bangsa

Wacana dominan pada fase kecambah ruang publik modern ini berkisar pada isu kemadjoean. Kemadjoean dalam arti ini mengekspresikan suatu kehendak untuk mencapai status sosial yang ideal, baik sebagai individu maupun komunitas imajiner, yang meliputi banyak hal, yakni kemajuan pendidikan, modernisasi , kehormatan dan keberhasilan dalam hidup.

"Sampai akhir abad ke-19, peran para guru dalam mempromosikan wacana kemadjoean sangatlah menonjol, setidaknya karena dua alasan," ucap dia.

Pertama, profesi guru hingga masa ini menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai para pendidik, mereka merupakan pihak yang paling merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara-saudara sebangsanya.

Baca juga : Platform Baca Digital Alternatif Tingkatkan Literasi Generasi Muda

Kedua, fakta bahwa profesi guru kurang dihargai jika dibandingkan dengan posisi-posisi administratif mungkin telah menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator dari konsep kemadjoean dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan privilese sosial.

"Peran yang menonjol dari para guru ini menunjukkan bahwa intelektual organik dari bibit inteligensia pada akhir abad ke-19 ini terutama berasal dari lingkaran-lingkaran para guru," jelas Yudi.

Dengan trajektori kemadjoean yang telah dirintis kaum guru, sedini awal dekade pertama abad ke-20, terjadilah fase formatif ruang publik modern. Sejauh mengenai perkembangan pers vernakular, dekade pertama abad ke-20 merupakan momentum paling penting dalam sejarah keterlibatan kaum pribumi dalam bidang tersebut.

Baca juga : Festival Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Memperkaya Khazanah Kebudayaan

Singkat cerita, salah satu tonggak penting dalam membangun gerakan kebangkitan berbasis bangsawan pikiran ialah perkumpulan Budi Utomo pada 1908. 

Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan priyayi tua dalam melindungi kepentingan rakyat, pada awalnya Budi Utomo bermaksud memperjuangkan kepemimpinan kaum muda.

"Maka tanda baru segera dicipta, tanda yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan, dan bekhidmat sepenuhnya pada pikiran. Tanda itu bernama kaum terpelajar atau ‘pemuda-pelajar, atau seringkali diungkapan dalam bahawa Belanda, jong. Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Natsir dibesarkan," jelas Yudi.

Baca juga : Badan Bahasa Dukung Media Indonesia Selenggarakan Festival Bahasa dan Sastra 2023

Lantas Yudi bertanya, apabila gerakan kebangkitan di masa lalu berhasil memancangkan pikiran dan keberaksaraan sebagai tanda kemajuan, lantas tanda apakah gerangan yang kita ciptakan masa kini, seabad setelah Budi Utomo berdiri? Menurut dia, inilah pertanyaan genting yang harus dicermati.

"Terdapat tanda-tanda bahwa pikiran dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Inteligensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta, karena kepintaran kembali dihinakan oleh kebangsawanan baru kroni dan kemewahanterdapat indikasi bahwa pikiran dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan," kata Yudi.

Namun, ia meyakini dalam ketiadaan platform politik yang jelas, gerakan kebudayaan menjadi alternatif menjaga kewarasan publik. "Adalah melalui sastra, nyanyian dan seni yang lain yang dibudayakan dalam masyarakat yang bisa membuat gerakan dan cita-cita sosial bisa bertahan dalam memori kolektif," pungkas Yudi. (Z-4)
 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat