visitaaponce.com

Komunitas Pasien Cuci Darah Pertanyakan Penyelesaian Kasus Gagal Ginjal

Komunitas Pasien Cuci Darah Pertanyakan Penyelesaian Kasus Gagal Ginjal
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir (berdiri).(Ist)

KETUA Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir menyayangkan sikap pemerintah atas lambatnya penyelesaian kasus gagal ginjal pada anak akibat obat sirop beracun yang telah berjalan satu tahun.

Padahal, para korban yang rata-rata masih anak-anak harus kehilangan masa kecilnya karena sibuk menjalani pengobatan.

“Ada ratusan anak Indonesia yang menjadi korban obat beracun yang belum kunjung selesai hingga hari ini,” kata Tony, Jumat (01/12/2023).

Baca juga: Vonis 2 Tahun Kasus Gagal Ginjal Akut Anak Dinilai Tak Adil

Tony mengaku miris melihat sikap pemerintah yang kurang memberikan perhatian kepada warga negaranya yang menjadi korban obat sirup beracun.

Tony Samosir menilai, kasus obat sirup beracun sendiri merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap obat dan makanan yang beradar di masyarakat.

"Tidak tanggung, seorang korban anak bernama Raina (1 tahun) kini harus kehilangan penglihatannya karena efek mengkonsumsi obat sirup beracun," katanya.

“Hancur masa depan anak-anak ini, bahkan ada anak yang kehilangan penglihatan dan tidak bisa mengenali wajah orang tuanya lagi ke depan. Bagaimana dengan masa depan anak ini? siapa yang bertanggungjawab atas semua bentuk kelalaian ini?," kata Tony.

Baca juga: Kasus Gagal Ginjal Akut, Terdakwa PT Afi Farma Ajukan Pembelaan

Menurut Tony, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menjadi pihak yang harus bertanggung jawab. Sebagai lembaga pengawasan distribusi dan keamanan atas peredaran obat, keduanya gagal melindungi warga negaranya yang mengkonsumsi obat paracetamol yang mengakibatkan ratusan anak terkena gagal ginjal.

“Semua tindakan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian karena kesalahannya harus menggantikan kerugian tersebut. Dan negara harus menjamin masa depan anak-anak yang cacat yang menjadi korban obat beracun sampai mereka dewasa nanti,” ujarnya.

Sri Rubiyanti, orang tua Raina— korban anak akibat sirop beracun— menuturkan, dokter mendiagnosis mengalami kebutaan pada mata Raina. Bahkan, dari hasil pemeriksaan, dinyatakan bahwa mata Raina tidak bisa dipastikan apakah bisa kembali normal. 

Di sisi lain, pertumbuhan Raina juga terkendala. Hingga saat ini, pertumbuhan badan Raina tidak normal, belum bisa berbicara, duduk, dan harus menjalani fisioterapi sebanyak dua kali dalam satu minggu.

Atas kejadian ini, Sri menyatakan bahwa biaya pengobatan Raina sangatlah mahal baginya yang saat ini sudah tidak lagi bekerja.

Ayah Raina yang hanya mendapatkan gaji UMR dirasa tidak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga dan pengobatan.

Baca juga: Lamban Salurkan Santunan GGAPA, Kementerian Dinilai Abaikan Perintah Presiden

"Mahalnya biaya pengobatan tersebut tidak lain karena banyak jenis dan obat-obatan yang tidak tercover BPJS Kesehatan. Seperti untuk biaya membeli vitamin mata, vitamin tulang, vitamin otak, dan susu ginjal. Harganya sangatlah mahal tentu saja," tuturnya.

Saat ini, untuk membantu perkembangan Raina, dokter menyarankan Sri membelikan sepatu koreksi ortopedi untuk merangsang syaraf-syaraf Raina. Namun harganya yang sangat mahal tentunya membuat Sri sampai saat ini tidak mampu membelinya.

Kuasa Hukum KPCDI dan Raina, Rusdianto Matulatuwa mengatakan, saat ini pihaknya masih terus melakukan upaya hukum kepada pemerintah untuk memberikan bantuan secara ekonomi kepada para korban.

Pada pengadilan tingkat pertama, hakim menyatakan bahwa kasus ini merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Namun, Rusdianto merasa tidak sependapat atas putusan ini karena kasus ini murni perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemerintah melalui Kemenkes dan BPOM.

Baca juga: Ombusman: Penyelesaian Kasus GGAPA Harus Sistemik dan Kasuistik

Di sisi lain, majelis hakim PN Kediri, Jawa Timur sudah menjatuhkan vonis penjara selama dua tahun dan denda Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan kepada empat terdakwa kasus obat batuk sirup beracun.

Keempat terdakwa adalah Direktur Utama PT Afi Farma, Manajer Pengawasan PT Afi Farma, Manajer Quality Insurance PT Afi Farma, dan Manajer Produksi PT Afi Farma. Hal ini mengindikasikan telah adanya tindak pidana di mana terdapat pelaku yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Rusdianto berharap pemerintah menyadari perbuatannya dan tergerak untuk membantu para korban karena kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga menengah ke bawah. 

"Bantuan sebesar Rp5 juta per bulan sesuai dengan tuntutan dirasa bijak untuk membantu kondisi penyembuhan korban," tukasnya. (S-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat