visitaaponce.com

COP-28 Berakhir, Negara Maju Mangkir

COP-28 Berakhir, Negara Maju Mangkir 
COP-28 berlangsung di Dubai, UEA.(AFP/Jewel Samad)

CONFERENCE of the Parties COP28 di Dubai, UEA, yang berlangsung pada 30 November sampai 12 Desember 2023 rupanya masih belum menghasilkan kesepakatan yang positif untuk penanggulangan perubahan iklim secara nyata. 

Hingga malam terakhir Selasa (12/12), negara-negara pun belum menemui kesepakatan tentang dua hal krusial, yakni Global Stocktake dan artikel 6 Perjanjian Paris.

“Yang paling krusial adalah Global Stocktake dan artikel 6 yang sampai tengah malam tadi tidak atau belum sepakat. Global Stocktake bila gagal akan benar-benar bisa mengancam pada kondisi set back komitmen terhadap Paris Agreement,” kata Direktur Mobilisasi Sumber Daya sektoral dan Regional KLHK Wahyu Marjaka saat dihubungi, Rabu (13/12).

Baca juga : Di Forum COP-28, Budy Sugandi Soroti Pentingnya Literasi Iklim di Sekolah

Seperti diketahui, Global Stocktake merupakan sebuah dokumen evaluasi kemajuan dunia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal tersebut merupakan salah satu kunci dari pembahasan di COP28, karena baru tahun ini pembahasan mengenai hal tersebut diangkat dalam ajang COP.

Semestinya, negara-negara menemui kesepakatan tentang temuan stocktake agar tujuan global membatasi kenaikan suhu di tingkat 1,5 derajat celcius dapat tercapai dan dampak perubahan iklim dapat diatasi. Namun, sampai detik terakhir COP28, kesepakatan itu belum muncul.

Adapun, artikel 6 Perjanjian Paris merupakan pasal yang mengatur kerja sama internasional untuk membantu pencapaian komitmen tiap negara anggota, baik melalui pendekatan berbasis pasar maupun nonpasar.

Baca juga : Menteri LHK: COP28 Jadi Titik Balik Akselerasi Penanganan Krisis Iklim

Wahyu yang menjadi salah satu delegasi RI di perundingan COP28 itu menegaskan, dalam hal ini pihaknya menilai bahwa negara maju belum memiliki komitmen kuat dalam pengendalian perubahan iklim, khususnya dalam hal pemenuhan komitmen pendanaan. “Negara-negara maju indikasnya banyak melakukan kebohongan terhadap komitmennya,” imbuh Wahyu.

Kendati demikian, ia menilai perlu perjuangan yang lebih keras lagi agar negara-negara menemui kesepakatan dalam hal pengendalian perubahan ikli,. “Perlu perjuangan lebih keras lagi untuk memenuhi komitmen khususnya memenuhi yang sifatnya mandatory,” pungkasnya.

Per hari ini, presidensi COP28 pun telah mengeluarkan draft keputusan COP28. Saat ditelisik, di dalamnya belum ada hasil-hasil yang signifikan. Semuanya hanya pernyataan yang tidak berlandaskan komitmen nyata dan hanya sebatas ajakan.

Misalnya saja, salah satu poinnya ialah negara-negara berkomitmen untuk mempercepat tindakan dalam dekade kritis berdasarkan sains dan mencerminkan keadilan serta prinsip tanggung jawab bersama namun berbeda.

Baca juga : Jelang COP-28 Dubai, KLHK Gelar ICCEF Persiapkan Delegasi Indonesia

“Mendesak para pihak negara maju untuk memenuhi komitmen mereka untuk mengumpulkan bersama-sama US$100 miliar pertahun pada 2020 untuk mengatasi kebutuhan negara-negara berkembang, dan menekankan perlunya sumber daya finansial yang dapat diprediksi dan berkelanjutan bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan tindakan iklim mereka,” ujar dokumen tersebut.

Hal lain yang menjadi sorotan ialah COP28 juga gagal menyerukan penghentian penggunaan bahan bakar fosil yang padahal menjadi sumber terbesar emisi gas rumah kaca.

Terpengaruh kebijakan politik

Menanggapi hasil COP28, Pakar Kebijakan Lingkungan dari Universitas Brawijaya Pramono melihat, hingga kini negara-negara memang masih mencari bentuk kebijakan politik tinggat tinggi untuk menangani perubahan iklim.

Baca juga : Menteri LHK dan Presiden IUCN Bahas Kerja Sama Pelestarian Keanekaragaman Hayati

“Karena perubahan iklim ini secara dunia global, baik aspek partisipatif, policy inklusif, transparansi proses di setiap negara ada jalur administrasi pengumpulan data dari semua pihak terkait. Mulai dari primer, sekunder dan teknis,” kata dia.

Pramono yang juga menjabat sebagai tim ahli Wantimpres bidang kehutanan dan lingkungan itu menilai, belum tercapainya kesepakatan menandakan bahwa negara-negara belum solid dan belum serius dalam menekan suhu global. “Masih ada ketimpangan kesenjangan data, proses dan sebagainya, juga kebijakan politik di masing-masing negara,” imbuh dia.

Menurut Pramono, semua aksi harus sejalan dengan perencanaan dan teori yang ada. Semua pihak harus saling terintegrasi untuk mendapatkan kemajuan dalam pengendalian perubahan iklim.

Baca juga : Norwegia Bayarkan US$100 untuk FOLU Net Sink Indonesia

“Selain itu dari sisi pendanaan iklim harus tepat sasaran sesuai road map jangka panjang. Jika tidak, maka banyak gap dan penyimpangan dalam mewujudkan realisasi kebijakan dalam mencapai global stocktake,” jelasnya.

Dalam konteks Indonesia, ia menilai masih perlu banyak hal yang diperbaiki dalam pengendalian perubahan iklim. Indonesia sebagai paru-paru dunia, di satu sisi masih banyak menjalankan kegiatan industri, pertambangan yang mengurangi luasan hutan, aktivitas pemukiman yang menghasilkan emisi dan peningkatan suhu.

“Hal ini menjadi tatangan Indonesia untuk memperbaiki dari semua lini dengan konservasi energi, restorasi hutan, rehabilitasi lahan, pertanian, perkebunan, tambang, industri dengan energi baru terbarukan yang dilengkapi dengan pengendali emsii yang baik,” beber dia.

Diamping itu, pengelolaan limbah B3 masih menajdi PR Indonesia. Semua harus dilakukan terintegrasi di semua daerah. “Maka negara Indonesia akan mampu melakukan perubahan secara positig dan mendasar. Dengan melihat kondisi itu, bisa menjadi klaim untuk bisa mendapatkan pendanaan dengan menyampaikan hasil evaluasi perubahan yang dilakukan secar serius dan riil di lapangan,” pungkas Pramno. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat