visitaaponce.com

Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Didesak Realisasikan Transisi Energi

Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Didesak Realisasikan Transisi Energi
Petugas berjaga di Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Sidrap.(Antara)

Presiden dan wakil presiden yang terpilih dalam Pilpres 2024 nanti diminta benar-benar merealisasikan kebijakan transisi energi yang rendah emisi dan berkeadilan. Forest Watch Indonesia (FWI) menilai kebijakan yang saat ini diterapkan justru mengancam lingkungan, seperti deforestasi. Selain itu, masyarakat dirugikan karena adanya dampak negatif seperti konflik agraria hingga kerugian ekonomi.

Berdasarkan pemetaan implementasi transisi energi biomassa dan pengamatan pada lumbung deforestasi baru, FWI melaporkan sepanjang 2017-2021 telah terjadi penebangan terhadap 55 ribu hektare hutan. Lebih detail, Aksi itu dilakukan oleh 13 perusahaan Hutan Tanaman Energi (HTE). Bahkan, diproyeksikan, angkanya bisa bertumbuh hingga 4,65 juta ha. Potensi itu didasari pada pengamatan yang dilakukan pada aktivitas pengembangan bioenergi melalui biomassa pada PLTU saat ini.

“Kami memberikan warning kepada tiga paslon, bahwasannya biomassa yang diimplementasikan dengan co-firing, jika tetap menggunakan tata kelola yang sama pada 52 PLTU saat ini, maka proyeksi hutan alam Indonesia yang menjadi korban akan mencapai 4,65 juta hektar,” ujar Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia Anggi Putra Prayoga dalam keterangan resmi, Minggu (21/1).

Baca juga: Belum Ada Capres Cawapres yang Kedepankan Isu Lingkungan

Di sisi lain, data terbaru menunjukkan bahwa aktivitas co-firing PLN di 43 PLTU dengan membakar 1 juta ton biomassa selama 2023, justru menghasilkan emisi 1,7 juta ton emisi karbon. Bahkan, praktik co-firing itu  juga berpotensi memperpanjang masa operasional PLTU-PLTU tua yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun.

Kebijakan biofuel pun sebagian besar masih mengandalkan bahan baku dari kelapa sawit, dengan risiko perluasan lahan sawit secara besar-besaran. Penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel, khususnya biodiesel, berdampak pada ketersediaan sawit untuk produksi bahan pangan seperti minyak goreng.

Pada 2022, data GAPKI memproyeksikan konsumsi sawit untuk pangan mencapai 9,6 juta ton, sementara konsumsi sawit untuk biodiesel hampir menyusul di angka 8,8 juta ton. Kompetisi penggunaan sawit untuk biofuel ini pada akhirnya akan memicu deforestasi, karena perlunya perluasan lahan untuk memenuhi permintaan kedua sektor.

Baca juga: Tiga Cawapres Didesak Paparkan Gagasan Konkret soal Transisi Energi

“Pengembangan bioenergi diantaranya dari biofuel dan biomassa yang bersumber dari produk perkebunan, yakni kelapa sawit, dan kehutanan seperti beberapa jenis kayu, akan mendorong meningkatnya kebutuhan lahan dan mengancam keberadaan hutan. Oleh karena itu, perlu ditetapkan batasan penggunaan bioenergi dan percepatan peralihan ke energi bersih,” pungkas Anggi. (Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat