visitaaponce.com

Tanggapi Data Masalah Kesehatan Jiwa Peserta PPDS, Dokter Spesialis Kejiwaan Ajak Berantas Stigma Depresi

Tanggapi Data Masalah Kesehatan Jiwa Peserta PPDS, Dokter Spesialis Kejiwaan Ajak Berantas Stigma Depresi
Ilustrasi(Freepik)

SEDANG ramai diberitakan tentang hasil penapisan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Data Kementerian Kesehatan mengungkap terdapat 3,3% atau 399 peserta PPDS yang mengaku lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri. 

Mengomentari masalah tersebut, Dokter Spesialis Kejiwaan Zulvia Oktanida Syarif mengatakan terdapat persepsi yang perlu diubah di tengah masyarakat terkait masalah kejiwaan. Dia mengatakan dirinya tidak kaget melihat data peserta PPDS memiliki kecenderungan depresi

“Kenapa saya gak kaget? Karena memang pendidikan kedokteran itu adalah salah satu pendidikan yang berat, yang tough, yang stressful. Apalagi pendidikan dokter spesialis,” ujar Zulvia di salah satu video di akun Instagram pribadinya, @dr.vivisyarif, yang diunggah Selasa (16/4). 

Baca juga : Skrining Awal pada PPDS Diharapkan Bisa Antisipasi Gejala Stres

Memberantas stigma kesehatan mental 

Kepada Media Indonesia, Zulvia menjelaskan adanya beberapa aspek yang perlu diubah untuk menangani masalah tersebut. Salah satunya persepsi masyarakat tentang depresi. Dia menyoroti fakta terkait masih kuatnya stigma negatif tentang gangguan mental di tengah masyarakat.

“Depresi, yang juga merupakan suatu gangguan mental dianggap sebagai suatu aib, atau tanda kelemahan iman, kelemahan mental seseorang. Padahal depresi adalah suatu penyakit yang sama seperti penyakit medis lainnya,” tuturnya ketika dihubungi melalui WhatsApp, Rabu (17/4).

Selain itu, Zulvia berkata, perlu ada edukasi berkala mengenai urgensi dan cara-cara menjaga kesehatan fisik dan mental selama menjalani pendidikan. 

Baca juga : Kamu Merasa Sedang Depresi? Coba deh Lakukan Hal Ini

Pusat pendidikan, terangnya, perlu melakukan skrining gejala kesehatan mental secara berkala, dan kemudian merujuk peserta didik ke layanan psikologis yang diperlukan. Zulvia pun mengatakan kerahasiaan identitas menjadi sangat penting untuk masalah ini. 

“Terjaminnya anonimitas dan konfidensialitas akan meningkatkan motivasi peserta didik yang mengalami depresi untuk mencari bantuan, difasilitasi oleh pusat pendidikan,” ucapnya.

Sementara itu, Zulvia juga menuturkan beberapa indikator yang dirasakan ketika seseorang mengalami gangguan depresi. Jika sudah merasakannya, seseorang perlu berkonsultasi dengan tenaga profesional untuk segera menangani masalah tersebut. 

Baca juga : Penderita Tuberkulosis Rentan Alami Gangguan Mental karena Tekanan Lingkungan

Indikator pertama yang dituturkan Zulvia adalah perasaan negatif.

“Ada suasana perasaan yang cenderung murung, sedih, mudah menangis, dan pikiran pesimistis yang berlangsung sepanjang hari selama minimal 2 minggu,” ungkap Zulvia. 

Indikator lain, jelas Zulvia, adalah perubahan pada pola tidur, baik secara kuantitas maupun kualitas. Tidak hanya itu, indikator yang paling utama adalah pikiran-pikiran untuk mengakhiri hidup. 

Baca juga : Tantangan Indonesia Emas 2045, Menciptakan Generasi Sehat Mental

“Tentu saja apabila ada pikiran ‘lebih baik mati’ atau ingin mengakhiri hidup atau melukai diri, ini merupakan indikator kuat untuk konsultasi ke psikiater atau psikolog,” tegasnya 

Perlu solusi dari institusi pendidikan dan pemangku kebijakan

Selain memberantas stigma masalah kesehatan mental, Zulvia juga mengungkap bahwa pendidikan dokter spesialis memang berat, membutuhkan pengorbanan waktu, biaya, tenaga, pemikiran yang besar, dan dalam kurun waktu yang panjang, sekitar 4 hingga 5 tahun. 

Pun demikian, menurut Zulvia, persepsi bahwa pendidikan dokter ‘terlalu berat’ terlalu subyektif. 

“Tiap program studi di tiap center pendidikan memiliki tantangan masing-masing yang bagi sebagian orang dapat dianggap berat,” katanya. 

Zulvia memberi contoh, program studi menjadi dokter spesialis Obgyn atau Anestesi dipersepsikan lebih berat dikarenakan alamiah bidang pekerjaannya yang memiliki load kerja yang tinggi; waktu kerja yang panjang dan tidak lazim, seperti jaga malam atau operasi tengah malam; kesiagaan setiap saat; dan keterkaitan dengan kondisi kritis yang bersangkutan dengan nyawa manusia. 

“Tiap program studi memiliki tantangannya sendiri-sendiri dengan tingkat kesuliitan masing-masing” ungkapnya. 

Dia pun menyatakan terdapat tiga hal yang bisa dilakukan institusi pendidikan, terutama rumah sakit pendidikan untuk para peserta PPDS. 

Waktu kerja lebih memerhatikan keamanan dan kesehatan, jelas Zulvia, harus diterapkan. 

Perlu ada pembatasan durasi maksimal kerja termasuk durasi jaga. 

Fasilitas untuk kesejahteraan juga menjadi penting. Rumah sakit pendidikan harus memberikan akses kepada fasilitas seperti, ruang istirahat atau kamar jaga dan makan siang. 

Tidak lupa Zulvia juga mengatakan “Akses layanan konseling bagi peserta didik.” 

Tidak hanya institusi pendidikan, pemangku kebijakan pun juga harus bertindak untuk menangani masalah ini. Zulvia mengatakan biaya menjadi salah satu aspek yang bisa dibenahi para pemangku kebijakan.

“Pemangku kebijakan dapat memastikan pendidikan dokter spesialis terjangkau dari segi biaya. Selain itu memastikan terjaminnya taraf kesehatan dan kesejahteraan peserta didik dari sisi pengaturan waktu kerja, akses terhadap layanan kesehatan, dan kompensasi kesejahteraan,” terang Zulvia. 

“Pemangku kebijakan juga dapat membuat aturan di mana penyaluran dokter spesialis dapat lebih diatur dan dijamin kesejahteraannya,” pungkasnya. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat