visitaaponce.com

PPDS Lebih Merasa Burnout Dibanding Depresi

PPDS Lebih Merasa Burnout Dibanding Depresi
Ilustrasi: beban tugas dan pendidikan calon dokter spesialis.(MI/Agus Utantoro)

SITUASI burnout sering dialami oleh pekerja dari semua bidang termasuk pekerjaan di sektor kesehatan seperti dokter, perawat, hingga peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Burnout merupakan respons terhadap lingkungan atau situasi tertentu atas lelahnya aktivitas seperti pekerjaan.

Peserta PPDS di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta, Maizan Khairun Nissa, 31, menyebut banyak PPDS lebih pada burnout bukan menimbulkan gejala depresi.

"Burnout itu kayak sebuah situasi misalnya dikejar deadline. Kalau yang saya dan teman-teman alami lebih ke arah burnout. Jadi kayak capek istilahnya. Tapi kalau ke arah depresi, yang sampai mau bunuh diri dan sebagainya yang saya temui tidak ada," kata Maizan saat dihubungi, Jumat (19/4).

Baca juga : Kemenkes: Tim Khusus akan Tindak Lanjuti Skrining Kejiwaan Peserta PPDS

Sebelumnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan skrining kesehatan jiwa dengan hasil 22,4% peserta PPDS mengalami gejala depresi. Skrining tersebut dilakukan pada 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal.

"Tapi kalau menurut saya sih, lebih ke burnout sih, bukan depresi. Jadi harus terminologinya harus bisa dibedakan antara depresi sebagai diagnosis yang harus melewati berbagai tahapan pemeriksaan. Dan burnout, suatu kondisi pada suatu waktu tertentu saja," ujar dia.

Berdasarkan pengalamannya, burnout juga bisa terjadi karena jam kerja. Jam kerja PPDS bisa 8 jam sehari atau 90 jam per per pekan untuk menjaga poli atau melakukan tindakan. Sehingga dibutuhkan kerja sama tim yang baik untuk saling mendukung.

Baca juga : Tidak Ada Insentif, Beban PPDS di Indonesia Lebih Berat Dibanding Negara Lain

Faktor lainnya yakni bullying atau perundungan. Ia menilai tergantung dari cara pandang sesama dokter dan faktor bullying yang dimaksud itu seperti apa.

"Jangan-jangan cuman disuruh datang pagi untuk visit pasien dibilangnya bullying kan itu juga enggak masuk, padahal itu merupakan tanggung jawab kepada pasien. Jadi untuk bullying itu saya tidak menampik bahwa tidak ada, tapi untuk saya sendiri tidak menemukan," ungkapnya.

Burnout sering juga disebabkan karena faktor eksternal atau di luar perannya sebagai peserta PPDS. Faktor tersebut seperti financial support yang kurang karena cerita PPDS tidak mendapatkan gaji dari rumah sakit. Sementara banyak PPDS yang sudah memiliki keluarga sehingga beban keuangannya sangat berat.

Baca juga : Metode Skrining PPDS Kemenkes Dipertanyakan

"Financial support pasti terganggu karena kita tidak praktik istilahnya kita orang dewasa yang produktif tapi memang tidak dapat pemasukan," ungkapnya.

"Tetapi Alhamdulillah di Rumah Sakit Harapan Kita mendapat gaji untuk ganti pulsa atau kopi juga bisa. Hanya saja banyak teman di banyak rumah sakit tidak mendapat gaji," tambahnya.

Ia juga membandingkan dengan temannya sesama PPDS di India dan Pakistan. Kedua developing country membayar PPDS sesuai tahapannya yakni junior, senior atau chief. Keluhan terkait insentif untuk PPDS juga diutarakan PB IDI yang memberikan rekomendasi agar membantu peserta PPDS mencegah gejala depresi dengan bantuan finansial.

Ia berharap adanya lebih mendukung pada peserta PPDS seperti dukungan finansial dan adanya regulasi jam kerja yang jelas sehingga bisa seimbangkan dengan belajar dan istirahat. Harapan ketiga yakni adanya dukungan pendidikan secara berkesinambungan. (Iam/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat