visitaaponce.com

Kemenkes Tim Khusus akan Tindak Lanjuti Skrining Kejiwaan Peserta PPDS

Kemenkes: Tim Khusus akan Tindak Lanjuti Skrining Kejiwaan Peserta PPDS
Warga melintas menggunakan sepeda motor di depan gedung RSUD Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Banten(Antara)

KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) menegaskan bahwa skrining awal kesehatan jiwa pada peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) merupakan alat deteksi dini. Untuk mengetahui diagnosa sebenarnya, tindak lanjut akan dilakukan tim khusus.

“Jadi nanti akan ditindaklanjuti oleh tim khusus yang dipimpin RS Marzoeki Mahdi untuk mendalami dan menegakkan diagnosa lebih lanjut dan mendapatkan layanan,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi kepada Media Indonesia, Kamis (18/4).

Secara paralel, kata Nadia, pihaknya juga akan memperbaiki faktor penyebab yang paling berkontribusi pada tingginya angka depresi pada peserta PPDS ini. “Untuk melakukan perbaikan apakah itu di sisi pendidikan atau di sisi pelayanan,” jelasnya.

Baca juga : Metode Skrining PPDS Kemenkes Dipertanyakan

Sebelumnya, hasil skrining kesehatan jiwa pada 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal akhir Maret lalu menunjukkan bahwa 22,4% peserta PPDS mengalami gejala depresi. Bahkan, 3,3% dokter PPDS yang menjalani skrining teridentifikasi ingin bunuh diri atau melukai diri sendiri.

Namun, Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Iqbal Mochtar saat dihubungi Media Indonesia, kemarin, menyebut Kemenkes perlu meninjau ulang metode skrining kesehatan jiwa pada peserta PPDS tersebut.

Metode skrining Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) yang digunakan dinilai kurang relevan. Iqbal menyebut daftar pertanyaan yang diajukan dari metode tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.

“Alat yang digunakan untuk mengukur kadar stress itu PHQ-9, yang merupakan sebuah tool yang sangat sederhana, dibuat tahun 2001 di Amerika Serikat dan relevansinya di Indonesia ini masih dipertanyakan. Hanya dengan menggunakan 5-10 pertanyaan, bagaimana kita bisa mendeteksi orang ingin melakukan bunuh diri?” ujar dia.

Namun menurut Nadia, hasil survei tersebut tetap valid karena ini skrining, bukan sebuah diagnosis. “Valid ini, karena ini skrining bukan menegakkan diagnosis,” ujarnya. (Ifa)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat