visitaaponce.com

Wajib Sertifikat Halal Ditunda Sampai 2026, Pelaku Usaha Diminta tidak Berleha-Leha

Wajib Sertifikat Halal Ditunda Sampai 2026, Pelaku Usaha Diminta tidak Berleha-Leha
Petugas laboratorium Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MPU Aceh memeriksa produk kosmetik di Aceh Besar, Aceh.(ANTARA/Irwansyah Putra)

DIREKTUR Utama Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muti Arintawati menanggapi keputusan pemerintah untuk menunda kewajiban sertifiat halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK).

Menurutnya, keputusan pemerintah ini pasti akan melegakan banyak pihak yang concern dengan nasib UMK. Melihat jumlah pelaku usaha dan sisa waktu penerapan wajib halal Oktober 2024, harus diakui UMK akan sulit memenuhi tenggat waktu, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kelangsungan bisnis mereka.

“Meski begitu, penundaan ini tentunya tidak menjadikan UMK bisa berleha-leha. Untuk sampai ke Oktober 2026, perlu dibuat program dan target antara yang diterapkan secara tegas. Sehingga, pelaku usaha tidak menunda-nunda pengurusan sertifikat halal dan menunggu akhir masa penahapan. Hal ini tentu memerlukan sosialisasi secara masif,” ungkap Muti, Sabtu (18/5).

Baca juga : PPUMI Gelar Webinar dan Workshop Pentingnya Sertifikasi Halal Bagi UMKM

Dilansir dari dari laman resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH sejak 2019 baru mencapai 4.418.343 produk per 15 Mei 2024. Sementara itu, target BPJPH 10 juta produk yang tersertifikasi, sehingga total capaian baru terealisasi 44,18%. Sedangkan total jumlah UMK yang ada sekitar 28 juta unit usaha.

LPPOM sendiri menekankan prioritas target kategori wajib halal hendaknya tidak hanya menimbang skala usahanya semata, melainkan juga fokus ke tingkat kekritisan produknya. 

Jika produk kritis tersebut merupakan bahan baku untuk membuat produk lain, maka luasnya cakupan penggunaan bahan ini juga perlu jadi perhatian.

Baca juga : BPJPH Edukasi Proses Sertifikasi Halal Pelaku UMK

“Kita perlu melihat secara jeli akar masalah yang ada. Yang disoroti hendaknya tidak sekadar skala usaha di sektor UMK, melainkan perlunya fokus ke pelaku usaha yang memasok bahan yang tergolong kritis dan dipakai di industri lain, terlepas dari skala bisnis pelaku usahanya. Hal ini karena pasokan bahan dan jasa terkait makanan minuman tidak hanya dari pelaku usaha besar, namun juga dapat berasal dari pelaku usaha yang masuk dalam kategori kecil dan mikro,” terang Muti.

Terkait daging, misalnya. Ketersediaan produk sembelihan yang dihasilkan oleh Rumah Potong Hewan/Unggas (RPH/U)menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Pasalnya, daging dan turunannya digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk usaha kuliner.

Di sisi lain, tidak semua produk sembelihan dihasilkan pelaku usaha menengah dan besar. Banyak daging yang dipasok rumah potong yang tergolong UMK, termasuk yang dihasilkan Tempat Penyembelihan Unggas (TPU) yang ada di pasar dan pemukiman.

Baca juga : Penyangga Ekonomi, UMKM Didorong Lakukan Sertifikasi Halal

Kelonggaran UMK tanpa disertai komitmen halal yang serius akan memperlama ketersediaan daging halal, yang akhirnya menghambat usaha lain yang menggunakan daging yang dibeli dari dari pelaku usaha UKM.

Selain itu, produk kemas ulang ukuran kecil untuk bumbu dan bahan kue (termasuk untuk bahan impor) banyak juga dilakukan oleh UMKM. Adapula jasa terkait makanan dan minuman yang juga banyak dioperasikan oleh UMKM, seperti penjualan dan penggilingan daging.

“Ketersediaan bahan dan jasa yang halal, akan memudahkan pelaku UMKM dalam membuat produk akhir makanan dan minuman yang halal. Ini seperti efek domino. Jika persoalan di hulu selesai, maka sebagian besar persoalan kehalalan produk di Indonesia juga akan rampung. Proses sertifikasi halal produk juga akan lebih mudah dan jaminan kehalalannya dapat dipertanggungjawabkan,” jelas Muti.

Baca juga : Dukung Ekonomi Nasional, UMKM Didorong Lakukan Sertifikasi Halal

Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk tetap fokus pada penyelesaian permasalahan halal di sektor hulu terlebih dahulu, baik yang diproduksi oleh perusahaan besar, menengah maupun UMK.

Sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), LPPOM siap mendorong pemerintah dalam menyukseskan implementasi regulasi wajib halal yang dicanangkan Pemerintah demi terwujudnya cita-cita Indonesia menjadi pusat halal dunia. Aksi nyata LPPOM dalam mendorong hal tersebut diwujudkan dalam berbagai program.

Salah satunya, pelaksanaan program Festival Syawal sebagai bentuk kepedulian LPPOM kepada UKM. Tahun ini, LPPOM telah memberikan fasilitasi sertifikasi halal reguler secara mandiri kepada sejumlah 125 UKM, 85 UKM di antaranya berasal dari 5 Destinasi Super Prioritas (DSP). Sebanyak 42 UKM di Labuan Bajo, 10 UKM di wilayah Danau Toba, 8 UKM di wilayah Borobudur, 6 UKM di wilayah Likupang, dan 20 UKM di wilayah Mandalika. Sebanyak 40 lainnya tersebar di berbagai Provinsi di Indonesia.

“Jumlah ini memang sangat kecil dibanding target dan jumlah UKM yang tersebar di Indonesia. Namun, melalui Festival Syawal, kami yakin LPPOM mampu menjadi katalisator yang akan mempercepat proses pertumbuhan industri halal di Indonesia,” tandasnya. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat