visitaaponce.com

Bahaya, Suhu Rata-Rata Global Naik Lampaui Batas

Bahaya, Suhu Rata-Rata Global Naik Lampaui Batas
Puncak Pan de Azucar terlihat dari puncak Ritacuba Blanco di Taman Alam Nasional El Cocuy di provinsi Boyaca, Kolombia, pada 19 April 2024.(AFP/Luis Acosta)

SUHU rata-rata global telah mengalami kenaikan sebanyak 1,64 derajat celsius pada Februari 2024. Angka itu melebihi ambang batas kenaikan suhu bumi 1,5 derajat celsius yang seharusnya boleh dicapai pada 2030. Hal itu diungkapkan oleh Ahli Klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional Erma Yulihastin.

"Artinya Bumi ini pada kenyataannya sudah 10 tahun lebih cepat daripada yang dimodelkan atau diproyeksikan oleh para ilmuwan. Ini data dari Cipernicus.eu. Ini data dari ensamble model di seluruh dunia," kata Erma dalam webinar yang diselenggarakan Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat, Minggu (9/6).

Berdasarkan model skenario iklim global, semestinya suhu Bumi mencapai 1,5 derajat celsius pada Agustus 2033. Namun demikian, angka itu justru naik lebih tinggi saat ini dibanding proyeksi ilmuwan yang ada. Kenaikan suhu itu, kata Erma, tentu akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan di bumi. Di antaranya suhu yang akan semakin meningkat, permukaan laut yang semakin naik, dan es di kutub yang semakin cepat mencair.

Baca juga : El Nino dan La Nina, Bedanya Dimana?

"Jadi titik kritis ini 1,5 derajat celsius sampai 2 derajat celsius. Jangan sampai kita melampaui itu. Nyatanya kita sudah melampaui 1,5 derajat celsius. Ini disebut emergency karena kita sudah melampaui titik kritis itu. Ini bukan global warming, tetapi dunia sudah mencapai pada titik mendidih," beber Erma.

Ia pun menyebut konsekuensi lain dari meningkatnya suhu lebih dari 1,5 derajat celsius dan perubahan iklim ialah pada fenomena El Nino dan La Nina. Dulu, kedua fenomena tersebut terjadi reguler dua sampai lima tahunan. Namun, dengan perubahan iklim fenomena tersebut menjadi tidak terprediksi.

"La Nina lebih sering terjadi dibandingkan El Nino. Namun intensitas El Nino lebih kuat dibandingkan La Nina. Pemanasan global timur lebih panas. Namun sekali lagi dampaknya lebih acak," kata Erma.

Baca juga : 2023 Jadi Tahun Terpanas Sejak Era Praindustri, Hasil Studi Copernicus

Perubahan iklim akan memberikan dampak yang berbeda-beda bagi setiap wilayah. Bagi Indonesia, saat ini telah menunjukkan terjadi perubahan klimatologis di Indonesia yaitu musim hujan lebih panjang tetapi hari-hari kering meningkat di wilayah monsunal Indonesia seperti Jawa, Bali, NTB, NTT, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Selatan. 

Selain itu, durasi musim hujan lebih Panjang. Hari-hari kering mengalami peningkatan selama musim hujan untuk semua wilayah.

"Selama musim hujan, terjadi peningkatan hujan ekstrem yang lebih sering dan selama musim kemarau hujan ekstrem semakin sering terjadi. Itulah yang sudah kita rasakan saat ini," ucap Erma.

Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Joko Wiratmo mengungkapkan, kondisi itu membuat semua pihak harus melakukan langkah mitigasi dan adaptasi yang masif. Beberapa hal yang perlu diperhatikan ialah terkait dengan energi terbarukan, pendidikan dan kesadaran iklim, pengembangan infrastruktur tahan cuaca, perencanaan tata kota berbasis iklim, penghijauan dan konservasi hutan, pertanian berkelanjutan, penanggulangan bencana alam dan praktik pertanian adaptif.

"Kalau kita lihat ada SDGs, kita bicara masalah seperti ini. Ini yang kadang kala di kita masih belum bisa menghubungkan bagaimana SDGs dengan masalah perubahan iklim. Perlu di-break down langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan. Kita di perguruan tinggi melakukan pendidikan, layanan kepada masyarakat, sekaligus penelitian. Tiga hal itu menjadi penting untuk upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," pungkas dia. (Z-2)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat