visitaaponce.com

Di Brasil, Ular Jadi Terapi Autis hingga Gangguan Kecemasan

Di Brasil, Ular Jadi Terapi Autis hingga Gangguan Kecemasan
David de Oliveira Gomes, 15, pengidap autisme sedang menjalani sesi terapi ular di Brasil.(AFP/Nelson Almeida)

SEEKOR ular boa berwarna kuning dan coklat melingkari leher David de Oliveira Gomes, 15, seperti syal. Namun remaja yang mengidap autisme ini justru merasa kagum, bukannya takut. Baginya, ini adalah terapi.

"Namanya Gold. Dia dingin. Dia pemakan tikus," kata Gomes kepada terapisnya di sebuah pusat perawatan di kota Sao Paulo, Brasil Tenggara.

Gomes memegangnya dengan lembut saat ular besar itu melata di sekelilingnya. Itulah kalimat yang ingin disampaikan oleh terapisnya, Andrea Ribeiro.

Baca juga : Mengenal Art Theraphy, Terapi Alternatif Mengatasi Kecemasan dan Atur Emosi lewat Seni

Anrea Ribeiro mengkhususkan diri dalam merawat orang-orang dengan disabilitas, autisme atau kecemasan, dengan menggunakan metode yang tidak biasa. Menurutnya, terapi reptil membantu pasien untuk rileks dan meningkatkan komunikasi, kemampuan motorik dan kemampuan lainnya.

"Dia sedang melatih kemampuan bicara dan ingatannya," kata terapis bicara-bahasa berusia 51 tahun ini tentang Gomes, sambil duduk di meja bersamanya dan ular besar itu.

Baca juga : Ini Faktor Penyebab dan Ciri Autisme

Ribeiro telah memelopori metode ini selama satu dekade terakhir di pusat perawatan tersebut. Dia memiliki ruang terbuka di mana pasien berinteraksi dengan kadal, kura-kura, dan "jacare" sejenis buaya asli Amerika Latin yang banyak ditemukan di Brasil, termasuk di hutan Amazon.

Mengapa reptil?

Perawatan ini tidak terbukti secara ilmiah. Namun, jelas Ribeiro, secara medis telah dibuktikan bahwa ketika seseorang bersentuhan dengan hewan, hal itu melepaskan neurotransmiter seperti serotonin dan beta-endorfin yang memberikan rasa senang dan nyaman.

"Hal itu membuat (pasien) merasa senang dan ingin belajar,” sebutnya.

"Reptil memungkinkan kami mencapai hasil yang lebih baik dan lebih cepat," katanya kepada Agence France-Presse (AFP).

Ribeiro biasa menggunakan anjing dalam sesi perawatannya. Namun, ia menemukan bahwa upaya untuk bermain dan berinteraksi secara terus-menerus membuat beberapa pasien merasa tidak nyaman, terutama mereka yang mengidap autisme. Jadi dia beralih ke reptil.

Reptil adalah golongan hewan yang membuat banyak orang menggeliat. Namun, orang-orang dengan autisme cenderung mendekati mereka tanpa prasangka. Hewan-hewan itu memicu rasa ingin tahu mereka tanpa membuat mereka merasa tidak nyaman.

Sementara itu, reptil-reptil itu, "acuh tak acuh," katanya.

"Mereka tidak mencari perhatian seperti yang dilakukan oleh beberapa mamalia,” tambahnya.

Gabriel Pinheiro, 10, sedang mengelus buaya kecil, dia mencoba menirukan suku kata yang diucapkan Ribeiro dengan membuka mulutnya lebar-lebar sebanyak tiga kali: "Ja-ca-re."

"Ini basah," katanya, matanya terpaku pada makhluk itu dari balik kacamatanya.

"Sisik buaya itu keras, perutnya lunak,” tambahnya, saat terapis membantunya melakukan gerakan yang berlawanan.

Dia dan Ribeiro kemudian menyanyikan lagu tentang jacare untuk melatih kemampuan memori pendengaran.

Ibu Pinheiro, Cristina, memuji terapi ini yang telah membantu meningkatkan kemampuan mendengar, komunikasi dan motoriknya selama 4 tahun.

"Dia selalu senang ketika kami datang,” pungkasnya. (AFP/Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat