visitaaponce.com

Yusril Belanda Harus Akhiri Kemunafikan

Yusril: Belanda Harus Akhiri Kemunafikan
Pengakuan kemerdekaan Indonesia dinilai tidak mutlak kabar baik. (Dok. Setpres)

PENGAKUAN kemerdekaannya Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte atas kemerdekaan Indonesia tidak mutlak kabar baik. Indonesia harus cermat menyikapinya dengan memastikan eks penjajahnya ini benar-benar tulus dan bertanggungjawab terhadap kesalahan sejarah.

"Pernyataan PM Belanda Mark Rutte di Parlemen Belanda bahwa negara itu mengakui kemerdekaan RI tanpa syarat tanggal 17 Agustus 1945 masih menyisakan banyak pertanyaan. Karena itu orang Indonesia jangan gembira dulu," tegas Eks Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yusril Ihza Mahendra kepada Media Indonesia, Sabtu (17/6).

Menurut dia Kementerian Luar Negeri (Kemlu) juga harus ekstra hati-hati dalam menyikapi perkembangan baru di Belanda ini. Seyogianya Kemlu memberikan masukan yang benar kepada Presiden Jokowi.

Baca juga: Ambiguitas Belanda Harus Dibalas Tuntutan oleh Indonesia

Pengakuan yang dikemukakan PM Belanda itu memang harus diperjelas, kata Yusril, sekedar mengakui kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, atau berarti mengakui kemerdekaan dan sekaligus kedaulatan negara RI sejak tanggal 17 Agustus 1945.

"Fakta sejarah yang tidak dapat disangkal ialah, Belanda baru menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 27 Desember 1949," katanya.

Baca juga: Belanda Wajib Bertanggungjawab atas Penjajahan di Indonesia

Yusril menjelaskan Indonesia juga mengakui hal itu karena penyerahan kedaulatan itupun bukanlah kehendak Belanda. Tetapi juga keinginan Indonesia yang dicapai melalui kesepakatan yang dituangkan dalam Roem-Roijen Statement tanggal 7 Mei 1949.

Dalam statemen itu Menlu Belanda Jan Herman van Roijen dan Ketua Delegasi Perunding Indonesia Mohamad Roem menyepakati kedua pihak Indonesa dan Belanda segera mengakhiri konflik. Kedua pihak bersama-sama akan membentuk RIS di Nederland.

Kemudian Belanda akan menyerahkan kedaulatan atas Hindia Belanda kepada RIS. Dengan diserahkannya kedaulatan kepada RIS, maka Indonesia akan diterima sebagai anggota baru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

"Dengan demikian, kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia diakui oleh dunia internasional," kata Pakar Hukum Tata Negara ini.

Dari isi Roem-Roijen tersebut, menurut Yusril, dengan jelas tergambar bahwa penyerahan kedaulatan disepakati kedua pihak akan dilakukan melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Wassenar, Belanda pada 27 Desember 1949.

Jadi, kalau pernyataan PM Mark Rutte dikaitkan dengan KMB, maka itu hanya berarti bahwa Belanda mengakui kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi belum mengakui sebagai negara berdaulat. Karena kedaulatan baru diserahkan Belanda tanggal 27 Desember 1949.

"Dari sudut pandang Belanda, antara 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, Indonesia memang sudah merdeka. Tetapi belum berdaulat. Kedaulatan ada di tangan siapa? Masih di tangan Belanda karena belum diserahkan. Mengakui kemerdekaan dengan mengakui kedaulatan, dalam perspektif Belanda adalah dua hal yang berbeda," ungkapnya.

Kalau kedaulatan Belanda atas wilayah Hindia Belanda masih ada sampai 27 Desember 1949, kata Yusril, maka Belanda bisa cuci tangan dari jatuhnya korban akibat penyerangan dan pembantaian massal (seperti dilakukan Westeriing). Maka benarlah dalih Belanda selama ini, bahwa mereka tidak pernah melakukan dua kali agresi militer ke wilayah Indonesia tetapi hanya melakukan Aksi Polisionil di wilayah Hindia Belanda sendiri yang kedaulalatannya masih ada di tangan mereka.

Kalau pemerintah Belanda memang benar-benar mengakui Indonesia yang merdeka dan berdaulat sejak 17 Agustus 1945, konsekuensinya memang cukup serius bagi Belanda. "Itu berarti apapun penyerangan, pembunuhan dan bahkan pembunuhan massal yang dilakukan Belanda di Indonesia sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 adalah keajahatan perang (war crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity)," tegasnya.

Yusril menjelaskan Belanda harus bertanggungjawab dan dapat dituntut di Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) sebagai penjahat perang dan sekaligus pelaku kejahatan HAM yang berat. Tetapi kalau hanya mengakui kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945 tetapi tidak mengakui kedaulatan sampai 27 Desember 1949, maka pengakuan kemerdekaan Infonesia yang dikemukakan Mark Rutte itu tidak lebih daripada basa-basi yang tidak banyak gunanya bagi bangsa Indonesia.

Belanda bahkan akan menjadi bahan tertawaan dunia internasional karena mengakui kemerdekaan Indonesia 27 Desember 1949. Jadi pengakuan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang dikemukakan PM Rutte itu hanyalah untuk kepentingan Belanda sendiri.

"Pengakuan itu pun tidak jelas apa manfaatnya bagi bangsa Indonesia," ungkapnya.

Pemerintah Indonesia, demi menjaga hubungan baik dengan Belanda, selama ini memang tidak mau mempersoalkan kejahatan Belanda di masa penjajahan, maupun dalam kurun waktu antara tahun 1945-1949. Tetapi rakyat yang menjadi korban pembunuhan dan pembantaian (termasuk ahli warisnya) dapat saja mengajukan gugatan di pengadilan atas perbuatan tentara Belanda tersebut.

"Sebagian, untuk kasus di Jawa Barat dan Sulawesi bahkan telah dikabulkan oleh pengadilan di negeri Belanda. Bagi bangsa kita, pada hemat saya, pengakuan atas kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, haruslah pula sekaligus mengakui kedaulatan sejak tanggal tersebut," katanya.

Yusril menjelaskan kalau ini yang dilakukan Belanda, baru pengakuan PM Mark Rutte itu ada artinya bagi bangsa Indonesia. Raja Belanda sekarang sudah seharusnya mengajukan permohonan maaf dan penyelesalan atas apa yang telah dilakukan oleh nenek-moyang mereka.

"Lebih daripada itu, bangsa Belanda juga harus menyadari, menginsyafi dan menyesali kesahalan masa lalu mereka. Jangan seperti sekarang, selalu merasa "besar kepala" seolah-olah mereka adalah pembela HAM dan selalu menyalahkan bangsa-bangsa lain, termasuk bangsa Indonesia yang sempat mereka jajah dalam kurun waktu yang sangat lama," pungkasnya. (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat