visitaaponce.com

Rencana Pembuangan Limbah Nuklir Jepang Dapat Lampu Hijau dari IAEA

Rencana Pembuangan Limbah Nuklir Jepang Dapat Lampu Hijau dari IAEA
Setelah dilakukan negosiasi dengan International Atomic Energy Agency, Jepang diberikan lampu hijau untuk membuang limbah nuklir kelautan.(AFP)

Masih ingatkah kalian dengan gempa bumi yang terjadi di Jepang pada 2011 lalu? Gempa dahsyat tersebut sempat meluluhlantakkan berbagai wilayah di Jepang dan membuat satu pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) meledak karena mengalami kebocoran. Bencana ini sempat membuat berbagai negara di seluruh dunia panik karena sebelumnya bencana serupa pernah terjadi di Rusia, tepatnya di Chernobyl. Dampak ledakan tersebut bahkan masih terasa sampai saat ini dan membuat kota tersebut tidak dapat dihuni manusia. 

Tidak ingin bernasib sama, Jepang segera bertindak cepat dengan melakukan berbagai cara untuk menekan suhu reaktor nuklir yang retak. Permasalahannya ialah dibutuhkan jutaan ton air untuk kembali menstabilkan suhu reaktor nuklir yang telah mengalami kebocoran. Tidak kehilangan akal, Jepang pun akhirnya menggunakan air laut untuk mendinginkan suhu reaktor nuklir tersebut. Langkah ini terbukti berhasil membuat reaktor kembali stabil secara bertahap sehingga membuat Fukushima terbebas dari ancaman kota mati seperti Chernobyl.

Berhasil menghentikan bencana Fukushima bukan berarti permasalahan selesai begitu saja. Air laut yang digunakan untuk mendinginkan reaktor nuklir tersebut kini jumlahnya sudah mencapai jutaan meter kubik. Air ini juga sudah bukan air laut biasa yang ada di lingkungan karena sudah memiliki kandungan zat radioaktif berbahaya yang tercampur saat proses pendinginan. Kontaminasi zat radioaktif tersebut pada akhirnya membuat air menumpuk dan menjadi limbah berbahaya di daratan Jepang. Masalah inilah yang kemudian membuat Jepang harus memutar otak untuk menghilangkan limbah berbahaya agar tidak berdekatan dengan manusia.

Baca juga: Limbah PLTN Fukushima Ancam Lingkungan dan Manusia

Menumpuknya limbah nuklir

Timbunan air laut yang digunakan Jepang untuk mendinginkan reaktor nuklir di Fukushima diperkirakan telah mencapai 1,3 juta meter kubik. Jumlah ini merupakan jumlah akumulasi air laut yang digunakan sejak 2011 sampai 2023. Bahkan, Jepang telah membangun lebih dari 1.000 tangki stainless steel untuk menampung jutaan meter kubik air laut di daratannya. 

Baca juga:Jepang Ingin Buang Limbah Nuklir Fukushima, Ini Reaksi Korsel

Penampungan limbah di daratan Jepang ini tidak bisa dijadikan sebagai solusi jangka panjang. Bencana alam seperti gempa bumi dan angin puting beliung bisa saja merusak tempat penampungan limbah nuklir. Satu retakan kecil saja bisa membuat lingkungan di sekitar tempat penampungan limbah menjadi rusak dan tidak dapat dihuni.

Karena permasalahan ini, Jepang berupaya melakukan negosiasi untuk membuang limbah nuklir ke lautan. Negosiasi dilakukan bersama dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) dengan memberikan jaminan keamanan pengolahan limbah nuklir tersebut. Setelah melakukan negosiasi panjang dan pengawasan bersama antara Jepang dan IAEA, pada akhirnya lampu hijau pun diberikan. 

Pernyataan IAEA terkait dengan keamanan limbah nuklir yang akan dibuang Jepang ke lautan ternyata tidak membuat masyarakat dunia percaya begitu saja. Banyak pihak meragukan proses penyaringan yang dilakukan Jepang serta kepatuhan Jepang untuk tetap menjalankan prosedur yang telah ditetapkan IAEA.

 

Apalagi, diperkirakan terdapat 64 zat radioaktif berbahaya yang tercampur dengan air laut tersebut saat mendinginkan reaktor nuklir. Dari 64 zat berbahaya ini, terdapat beberapa zat berbahaya bagi manusia, seperti carbon-14, iodine-131, caesium-137, strontium-90, cobalt-60, dan hydrogen-3 atau tritium. Memang kebanyakan zat berbahaya tersebut tidak akan bertahan lebih dari 12 tahun setelah kejadian ledakan. Namun, terdapat satu zat berbahaya seperti carbon-14 yang baru bisa hilang setelah 5.000 tahun.

Kandungan zat radioaktif inilah yang kemudian membuat banyak orang khawatir. Apalagi, terdapat zat berbahaya yang dapat bertahan selama 5.000 tahun setelah kejadian. Jika begitu, memasukkan limbah nuklir ke dalam laut sama saja seperti membunuh ekosistem dan rantai makanan yang terjadi di dalam lautan. Bahkan, beberapa orang juga mengkhawatirkan zat tersebut akan mencemari ikan di lautan yang dapat berdampak pada manusia ketika mengonsumsi ikan tersebut.

ALPS solusi limbah nuklir Jepang

Jepang menolak semua pandangan negatif tersebut dengan memperkenalkan advanced liquid processing system (ALPS). Alat canggih ini yang kemudian digunakan Jepang sebelum membuang limbah nuklir ke dalam lautan luas. ALPS berperan melakukan filtrasi kepada zat radioaktif berbahaya yang tercampur dalam proses pendinginan reaktor nuklir. Jepang juga sangat pede dengan alatnya ini karena berhasil menghapus 62 zat radioaktif berbahaya dari limbah nuklir Fukushima.

Sebenarnya cara kerja alat ini seperti alat filtrasi lainnya. Air yang tercemar akan masuk ke ALPS untuk disaring melalui lima tahap kosedimentasi, adsorbsi, dan filtrasi fisik. Proses panjang yang dilakukan mesin ALPS ini kemudian berhasil menghilangkan berbagai zat radioaktif yang sebelumnya terkandung dalam limbah nuklir.

Memang alat ini terdengar sangat canggih karena dapat melakukan filtrasi dan menghilangkan puluhan zat radioaktif berbahaya dari limbah nuklir Fukushima. Namun, alat ini juga masih mempunyai kelemahan karena belum bisa menyaring seluruh zat radioaktif berbahaya. Misalnya, limbah nuklir dari PLTN Fukushima sebenarnya mempunyai 64 zat radioaktif berbahaya, 62 bahan radioaktif berhasil dihilangkan dari limbah nuklir tersebut dan memenuhi standar dari Komisi Internasional tentang Perlindungan Radiologis. Akan tetapi, masih terdapat dua zat radioaktif berbahaya yang tidak bisa difiltrasi sampai batas yang telah ditetapkan. Carbon-14 dan tritium ialah dua bahan radioaktif berbahaya yang masih gagal disaring ALPS. Bahkan, zat radioaktif yang diperkirakan memiliki usia sampai 5.000 tahun juga belum bisa disaring mesin tersebut.

Menimbulkan pertentangan

Sebenarnya pembuangan limbah nuklir ke lautan sudah terjadi sejak 1946. Amerika Serikat menjadi negara pertama yang membuang limbah nuklir ke lautan. Sejak saat itu berbagai negara pun akhirnya mengikuti hal tersebut karena dinilai lebih efisien. Kesadaran tentang dampak terhadap lingkungan baru terbentuk setelah The London Convention dilaksanakan pada 1972. Sejak saat itu secara perlahan negara-negara di berbagai belahan dunia mengeluarkan larangan pembuangan limbah nuklir ke laut. Pembuangan limbah nuklir ke laut baru berhenti secara total pada 1991.

Sejak 1991 sampai saat ini sebenarnya sudah tidak ada negara yang membuang limbah nuklir ke lautan. Merusak ekosistem laut menjadi alasan utama di balik dilarangnya pembuangan limbah nuklir ke laut. Apalagi, rantai makanan yang berada di dalam laut juga akan berujung kepada manusia. Terkontaminasinya hewan laut dengan limbah nuklir dikhawatirkan memberikan dampak berbahaya pada manusia.

Keberanian IAEA untuk memberikan lampu hijau kepada Jepang menimbulkan perdebatan di berbagai wilayah. Berbagai negara khawatir akan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan pembuangan limbah nuklir tersebut. Bahkan, beberapa ilmuwan mengkhawatirkan tercemarnya rantai makanan sehingga berdampak secara tidak langsung pada manusia.

Namun, IAEA tidak begitu saja membiarkan Jepang membuang limbah nuklir. Berbagai persyaratan harus dipenuhi Jepang, seperti menghilangkan 64 zat berbahaya yang ada di dalam limbah tersebut. Selain itu, Jepang harus membuang limbah nuklir tersebut berjauhan dari laut yang sering digunakan untuk penangkapan ikan agar tidak menimbulkan bahaya. Zona aman juga telah ditetapkan dengan mengosongkan aktivitas penangkapan ikan dalam radius 3 kilometer dari tempat pembuangan limbah nuklir. (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat