visitaaponce.com

AS Waspada dengan Strategi Dagang TikTok Shop

 AS Waspada dengan Strategi Dagang TikTok Shop
Ilustrasi(AFP)

BELUM kelar ramai dengan Project S di Inggris, kini TikTok meluncurkan bisnis ecommerce di Amerika Serikat (AS) untuk menjual barang-barang buatan Tiongkok.

Mirip dengan program "Dijual oleh Amazon" dari website Amazon, nantinya TikTok akan menyimpan dan mengirimkan sejumlah barang, termasuk pakaian hingga alat elektronik, atas nama produsen dan pedagang di Tiongkok. Program TikTok ini juga akan menangani pemasaran, transaksi, logistik dan layanan purna jual.

Baca juga: TikTok Indonesia Tidak akan Terapkan Perdagangan Lintas Batas

Laporan surat kabar Wall Street Journal (WSJ) menyebutkan bahwa bisnis e-dagang Tiktok ini akan mulai beroperasi pada Agustus 2023, lebih cepat dari yang direncanakan sebelumnya.

AS merupakan pasar terbesar kedua Tiktok dari sisi pengguna media sosial yang ditargetkan menjadi konsumen. Sementara urutan kedua adalah Indonesia, di mana Tiktok juga sudah mengantongi izin praktik e-commerce melalui Tiktok Shop.

Baca juga: Soroti Risiko Penggunaan TikTok, Kominfo Bakal Bentuk Satgas Bareng Kemendag

"Langkah tersebut dilakukan setelah banyak pedagang Tiongkok, yang menggunakan platform penjual pihak ketiganya, berjuang untuk menyediakan layanan pelanggan yang memadai dan meningkatkan keuntungan mereka," tulis WSJ dalam laporannya, belum lama ini.

"TikTok akan membayar pemasok Tiongkok hanya setelah mereka menemukan pembeli di AS, dan akan mengembalikan barang yang tidak populer agar tidak terjebak masalah persediaan," sambungnya.

Baca juga: Amazon dan Apple Kena Denda Rp3,3 Triliun di Spanyol

Langkah ini memastikan strategi e-commerce TikTok untuk membidik pasar Negeri Paman Sam setelah sempat menunda ekspansi karena para penjual di AS enggan untuk bergabung di tengah tekanan politik terhadap aplikasi asal Tiongkok tersebut.

TikTok menghadapi pengawasan yang meningkat di Washington, di mana para pejabat dan anggota parlemen telah melabelinya sebagai "risiko keamanan nasional."

TikTok sekarang membangun pasar mirip Amazon, TikTok Shop, yang mengintegrasikan berbagai saluran di mana pengguna dapat melihat dan membeli barang menjadi satu halaman. Pengguna dapat mengulas merchandise, baik yang dijual melalui program TikTok maupun secara langsung dari pengecer eksternal.

Peluncuran TikTok ke dalam model e-niaga baru ditujukan untuk memperluas ekosistem penjualnya demi mendapatkan lebih banyak keuntungan dari aplikasi video populer tersebut dan melakukan diversifikasi di luar penjualan iklan. Tiktok menargetkan mampu melipatgandakan GVM di platformnya menjadi USD20 miliar secara global.

Jajaran eksekutif di TikTok, perusahaan milik ByteDance yang berbasis di Beijing, menugaskan kembali tim e-niaganya pada Maret lalu dengan memeriksa model bisnis dari para pesaingnya yang berkembang pesat, ucap sejumlah orang yang mengetahui informasi tersebut. Dua bulan kemudian, TikTok meluncurkan versinya sendiri di Arab Saudi dan Inggris Raya.

Regulasi

Sejumlah analis mengatakan peluncurannya di AS dapat menambah tekanan yang sudah dihadapi TikTok di sana. Pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden mengatakan bahwa TikTok harus menjual operasinya di AS, atau terancam menghadapi larangan, dengan mengutip kekhawatiran bahwa Negeri Tirai Bambu dapat mengakses data para pengguna di AS.

TikTok berulang kali membantah menerima permintaan pemerintah Tiongkok perihal data pengguna, dan mengatakan tidak akan merespons jika kembali diminta Washington.

"Ini adalah perjuangan berat untuk TikTok karena persaingannya tidak hanya sengit, tetapi tantangan juga lebih besar untuk TikTok jika benar-benar berhasil," kata Ivy Yang, seorang analis teknologi yang sebelumnya bekerja untuk e-commerce raksasa Alibaba.

Nailul Huda, analis dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef), memandang perlu adanya aturan mengenai social commerce agar tidak ada program-program yang merugikan ke depannya.

Regulasi pemerintah, termasuk di Indonesia, disebutnya perlu mengatur mengenai perilaku dari semua pemain perdagangan daring, baik itu ecommerce atau social commerce.

"Alasannya pertama adalah memberikan perlindungan kepada konsumen terkait keamanan transaksi dan data. Kedua adalah memberikan perlindungan bagi pelaku usaha lokal dan produsen lokal," ucap Nailul.

"Ketiga adalah memberikan persaingan usaha sehat antar pemain perdagangan daring agar level playing field-nya sama. Jadi, harus ada revisi aturan Permendag mengenai PPMSE. Memasukkan unsur social commerce di situ," sambungnya, merujuk pada istilah Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

"Adanya aturan tersebut saya rasa bisa menghindarkan dari program-program merugikan seperti Project S TikTok. Revisi aturan ini nantinya harus diterapkan juga ke social commerce lainnya," pungkasnya. (Medcom/H-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat