visitaaponce.com

Apa Dampak Perang Israel-Hamas bagi Pasar Minyak Dunia Ini Prediksinya

Apa Dampak Perang Israel-Hamas bagi Pasar Minyak Dunia? Ini Prediksinya
Harga minyak melonjak setelah serangan Hamas ke Israel, pada 7 Oktober 2023.(AFP)

PERANG antara Hamas, kelompok pejuang kemerdekaan Palestina dan Israel menimbulkan salah satu risiko geopolitik paling signifikan terhadap pasar minyak mentah sejak invasi Rusia ke Ukraina tahun lalu.

Meskipun aliran minyak belum terkena dampaknya, para analis dan pengamat pasar menunjukkan dua implikasi besar jika konflik meningkat. 

Berikut ini analisis pakar mengenai dampak perang Israel dan Hamas, kelompok militan pejuang kemerdekaan Palestina seperti dikutip dari Reuters.

Baca juga : Iran Peringatkan Amerika, Invasi Israel ke Gaza Panaskan Timur Tengah

Pertama, AS dapat memperketat atau meningkatkan penerapan sanksi terhadap Iran jika Iran terlibat dalam serangan Hamas terhadap Israel, yang selanjutnya dapat membebani pasar minyak yang sudah kekurangan pasokan.

Kedua, kesepakatan yang ditengahi oleh Washington untuk menormalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel, yang dapat meningkatkan produksi minyak kerajaan tersebut, bisa saja gagal.

Baca juga : Arab Saudi Desak Israel Setop Bom Gaza dan Berikan Palestina Haknya

 

Respons pasar sejauh ini

Hari ini, minyak mentah Brent melonjak sekitar U$3,50 hingga menyentuh U$89 per barel pada Senin (16/10), hari perdagangan pertama setelah Hamas melancarkan serangan mendadak terhadap Israel pada 7 Oktober.

Harga minyak kemudian membalikkan sebagian besar keuntungan tersebut sebelum naik menjadi di atas U$88 per barel pada hari Jumat karena Amerika Serikat memberlakukan sanksi terhadap pengirim minyak Rusia yang melanggar batasan harga yang diberlakukan G-7.

Analis dan orang dalam industri, yang memperkirakan reli yang lebih kuat, mengakui bahwa situasi kali ini berbeda dari krisis minyak tahun 1973 ketika Arab Saudi mempelopori embargo yang ditargetkan pada negara-negara yang mendukung Israel selama Perang Yom Kippur, sehingga menyebabkan harga meroket.

Arab Saudi dan Rusia telah mengumumkan pengurangan pasokan secara sukarela hingga akhir tahun 2023, yang mendorong harga minyak ke level tertinggi dalam 10 bulan pada akhir September sebelum kekhawatiran makroekonomi menurunkan harga minyak secara drastis lagi pada minggu lalu.

Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan pada hari Kamis bahwa konflik tersebut tidak berdampak langsung pada pasokan minyak, sementara David Goldwyn, mantan utusan khusus untuk urusan energi internasional di Departemen Luar Negeri AS, mengatakan faktor fundamental akan tetap menjadi pendorong harga yang lebih besar.

Rob Thummel, manajer portofolio senior di Tortoise Capital, mengatakan harga minyak tidak akan naik secara substansial kecuali ada gangguan di Selat Hormuz, jalur minyak terpenting di dunia yang membawa seperlima pasokan global, yang disebabkan oleh Iran atau negara lain.


Peran Iran dan Arab Saudi

Meskipun ada sanksi dari AS, ekspor minyak mentah Iran telah tumbuh secara signifikan tahun ini, mengimbangi pemotongan sukarela yang dilakukan oleh Riyadh dan Moskow sebesar 1,3 juta barel per hari.

Iran, pendukung Hamas telah membantah terlibat dalam serangan kelompok tersebut terhadap Israel. 

Menteri Keuangan Amerika Janet Yellen pekan lalu, mengatakan dia belum mengumumkan apakah Amerika akan menjatuhkan sanksi baru terhadap Iran jika muncul bukti bahwa negara tersebut terlibat dalam serangan itu.

Sanksi AS yang lebih ketat terhadap Teheran akan mengancam pasokan minyak mentah dan menaikkan harga energi baik secara global maupun domestik, sesuatu yang ingin dihindari oleh Presiden Biden menjelang Pemilu AS 2024 mendatang.

Namun analis RBC Capital Markets, Helima Croft, mengatakan akan sulit bagi pemerintahan Biden untuk melanjutkan rezim sanksi permisif yang memungkinkan produksi minyak Iran mendekati tingkat sebelum tahun 2018.

Namun, analis lain memperkirakan AS tidak akan mengambil risiko gangguan pasokan.

“Mengingat tujuan kebijakan tidak menargetkan aliran minyak Rusia bahkan pada puncak konflik Rusia-Ukraina, kami memperkirakan ekspor minyak Iran juga tidak akan dibatasi,” kata analis Macquarie.

Analis FGE mengatakan bahwa AS tidak mungkin memperketat sanksi tanpa persetujuan Arab Saudi untuk mengganti minyak Iran yang hilang, dan mereka menambahkan bahwa mereka tidak melihat hal itu terjadi.

AS berupaya menengahi pemulihan hubungan antara Arab Saudi dan Israel, di mana kerajaan tersebut akan menormalisasi hubungan dengan Israel sebagai imbalan atas kesepakatan pertahanan dengan Washington.

Arab Saudi mengatakan kepada Gedung Putih bahwa mereka bersedia meningkatkan produksi minyak awal tahun depan untuk membantu mengamankan kesepakatan tersebut, Wall Street Journal melaporkan pekan lalu.

Washington mengatakan upaya-upaya tersebut harus dilanjutkan, namun Ben Cahill dari lembaga think tank Center for Strategic and International Studies yang berbasis di AS mengatakan perundingan tersebut sekarang dapat ditunda, sehingga menutup jalur penting kerja sama AS-Saudi.

 

Reaksi OPEC+

Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz mengatakan kepada bahwa "kohesi OPEC+ tidak boleh ditantang". “Kita telah melalui masa terburuk, saya rasa kita tidak perlu melalui situasi yang buruk sama sekali,” katanya.

Juru bicara Kementerian Perminyakan pada 12 Oktober mengatakan bahwa OPEC+, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya yang dipimpin oleh Rusia, tidak melakukan reaksi spontan terhadap tantangan pasar.

Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak menuturkan, bahwa harga minyak saat ini menjadi faktor penyebab konflik dan mencerminkan keyakinan pasar bahwa risiko yang ditimbulkan oleh bentrokan tersebut tidak terlalu tinggi.

Diketahui, Rusia dan Arab Saudi bertemu di Moskow pekan lalu, ketika presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan koordinasi OPEC+ akan terus berlanjut untuk memprediksi pasar minyak. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat