visitaaponce.com

Hari Buruh, Tingkatkan Akses Laktasi Pekerja Perempuan

Hari Buruh, Tingkatkan Akses Laktasi Pekerja Perempuan
Ilustrasi ibu bekerja.(Freepik)

MENJALANKAN peran laktasi atau menyusui ditempat kerja merupakan hak ibu bekerja. Namun, saat ini belum semua pekerja perempuan bisa mendapatkan hak tersebut. Tak mengherankan, sebagian ibu bekerja terpaksa berhenti menyusui bayinya. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif 6 bulan pun tak dapat dituntaskan.

Bagaimana gambaran peran laktasi pekerja perempuan di Indonesia? Berikut uraian Peneliti dan Pengajar Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, bertepatan dengan momentum Hari Buruh 2024.

Jadi Tantangan di Tempat Kerja

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah perempuan pekerja pada 2022 mencapai 52,74 juta pekerja di Indonesia. Jumlah ini setara dengan 38,98% dari total pekerja di tanah air. Namun pekerja perempuan masih menghadapi tantangan spesifik yang sangat kompleks, yang bukan saja tidak dihadapi pekerja laki-laki, tetapi tingkat keberpihakan pemilik tempat kerja juga masih rendah. Salah satu fokus isu adalah tantangan menjalankan peran laktasi atau menyusui di tempat kerja.

Baca juga : PKS : Mayoritas Pekerja Masih Jauh dari Sejahtera

Data dari penelitian Basrowi, dkk (2018) menemukan hanya 19% buruh perempuan yang berhasil memberi ASI eksklusif setelah kembali dari cuti melahirkan. Hal ini diakibatkan terutama oleh cuti melahirkan yang hanya tiga bulan, tidak ada waktu kerja fleksibel, dan rendahnya dukungan promosi laktasi ditempat kerja.

Pemberian ASI juga Bermanfaat untuk Ibu

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan, pemberian ASI eksklusif enam bulan wajib dilakukan karena selain memberi manfaat kesehatan bagi bayi, juga menjaga ibu tetap sehat, terhindar dari stres pascapersalinan dan baby blues, serta terlindungi dari penyakit sindrom metabolik secara jangka panjang. Studi Basrowi bersama Prodi Magister Kedokteran Kerja FKUI di 2019 membuktikan pekerja perempuan yang berhasil ASI eksklusif memiliki tingkat pencapaian target kerja yang lebih tinggi, bahkan 1,5 kali lebih berpeluang untuk tidak sering absen dari pekerjaannya.

“Namun, dukungan laktasi belum menjadi prioritas tuntutan gerakan buruh di Indonesia,” kata dr. Ray yang juga Pendiri dan Ketua Health Collaborative Center (HCC).

Baca juga : Buruh di Karanganyar Masih Dihantui Gelombang PHK 

Ketidakadilan bagi Pekerja Perempuan

Merujuk pada riset yang dilakukan Peraih Nobel Ekonomi 2023, Claudia Goldin menunjukkan bagaimana perempuan masih terikat dengan kondisi “motherhood penalty” serta fakta bahwa tanggung jawab rumah tangga yang tak berimbang membatasi gerak mereka untuk memajukan karier dan memperoleh pendapatan yang lebih baik. Kondisi ini relevan tak hanya bagi perempuan AS tetapi juga di kancah global, termasuk Indonesia.

“Hal ini pun sejalan dengan studi dari Triaryati yang membuktikan bahwa pekerja perempuan di usia produktif kesulitan menjalankan peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan tenaga kerja, diakibatkan satu tantangan berat yang sulit terselesaikan, yaitu peran laktasi. Kondisi ini terutama ditemukan pada kelompok pekerja buruh,” papar dr. Ray.

Data dari penelitian Health Collaborative Center (HCC) pada peringatan Pekan ASI Sedunia 2022 juga menunjukkan sebagian besar pekerja perempuan kesulitan bekerja setelah kembali dari cuti melahirkan karena ada perasaan bersalah harus meninggalkan bayi di rumah yang masih berusia kurang dari enam bulan. Padahal masa-masa ini adalah periode penting yang perlu asupan ASI eksklusif dan stimulasi lewat pengasuhan ibu. Ini tentu bentuk ketidakadilan bagi pekerja perempuan Indonesia.

Baca juga : Tak Ikut Demo, Pilih Belajar Melukis di Busana dan Tas di Hari Buruh

Terpaksa Pompa ASI di Toilet

Status pekerjaan tidak seharusnya menjadi penghalang suksesnya ibu mengasuh bayinya. Itu sebabnya dukungan tempat kerja menjadi sangat menentukan. Namun, bagi pekerja perempuan, terutama buruh di Indonesia, terkadang hak ini sulit didapatkan karena berbagai kendala di tempat kerja.

Data penelitian salah satu tesis Magister Kedokteran Kerja FKUI di tahun 2015 menemukan fakta bahwa 1 dari 2 buruh perempuan yang kembali dari cuti melahirkan terpaksa memompa ASI di toilet atau kamar mandi pabrik karena tidak adanya ruang laktasi dan fasilitas menyusui yang memadai di pabrik. Data serupa di tahun 2022 yang dilakukan HCC menunjukkan gambaran mirip, masih banyak ibu pekerja yang lebih nyaman menyusui di toilet atau kamar mandi karena merasa lebih mendapatkan privasi. Hal ini menunjukkan aspek lemahnya dukungan ditempat kerja bisa menjadi barrier yang membahayakan peran laktasi.

Fasilitas Menyusui Minim

Satu tantangan berat lainnya adalah kesadaran dan pemahaman pemilik tempat kerja yang masih rendah terkait pentingnya kebebasan laktasi di tempat kerja. Banyak perusahaan yang belum menyediakan fasilitas yang memadai atau bahkan kurang mendukung para pekerja perempuan yang sedang menyusui. Penelitian Stewart menemukan bahwa masih banyak manajer dan pengawas pekerja di pabrik yang memiliki persepsi bahwa istirahat memompa ASI justru mengganggu waktu kerja dan menghambat produktivitas buruh perempuan.

Baca juga : Kapolri: Buruh Adalah Motor Penggerak Pembangunan Indonesia

Selain itu, diskriminasi terhadap pekerja perempuan yang sedang menyusui juga masih menjadi masalah yang perlu diatasi. Beberapa pekerja perempuan mungkin merasa tidak nyaman atau dihakimi saat meminta waktu istirahat laktasi di tempat kerja. Hal ini dapat menghambat upaya pencapaian keseimbangan antara kehidupan kerja dan keluarga bagi pekerja perempuan.

Penelitian bertajuk Developing a Workplace Lactation Promotion Model in Indonesia Using Delphi Technique yang membuktikan bahwa dukungan paket promosi laktasi yang memadai di tempat kerja sangat penting untuk mendukung kesuksesan peran laktasi. Dan ini semua dilandaskan pada tiga komponen pokok, yaitu kebijakan waktu kerja fleksibel; sumberdaya manusia pendukung laktasi, terutama peran dokter perusahaan; serta investasi sarana dan program edukasi. Ketika ketiganya diterapkan, peluang pekerja perempuan yang sukses menyusui semakin tinggi, dan dampak terhadap pencapaian target pun semakin baik.

Perlu Dukungan Regulasi

Hak laktasi seharusnya dilindungi dan didukung oleh semua pihak, terutama pemerintah. Ini tentunya harus dimulai dengan penegakan supremasi hukum dan peraturan perundang-undangan. Angin segar memang sedang berhembus di DPR RI saat ini dengan semakin dekat disahkannya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang mengatur potensi cuti melahirkan pekerja perempuan yang lebih panjang, tidak hanya tiga bulan, dan tetap berbayar meskipun tidak seratus persen upah. RUU KIA ini berpotensi menjadi aturan krusial yang sangat positif bagi kemerdekaan laktasi dan hak pekerja perempuan.

“Narasi kemerdekaan laktasi bagi pekerja perempuan di Indonesia harus lebih lantang disuarakan gerakan buruh. Kemerdekaan laktasi bukan hanya sebatas hak, tetapi juga menjadi langkah nyata dalam mewujudkan kesetaraan gender dan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat, khususnya pekerja perempuan di Indonesia,” pungkas dr. Ray. (X-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eni Kartinah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat