visitaaponce.com

Bukan 1 Kali Sebulan, Obat dan Cek Kesehatan ODHIV Cukup Dilakukan 3 Bulan Sekali

Bukan 1 Kali Sebulan, Obat dan Cek Kesehatan ODHIV Cukup Dilakukan 3 Bulan Sekali
Ilustrasi(123rf.com)

DOKTER Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Hematologi-Onkologi (Kanker) dan Anggota Dewan Pertimbangan PB IDI, Prof. Dr. dr. Zubairi Djoerban mengatakan pemberian obat dan pemeriksaan kesehatan bagi Orang Dengan HIV (ODHIV) tak perlu dilakukan sebulan sekali untuk meringankan beban psikologis dan ekonomis.

“Seharusnya pasien HIV berbasis pelayanan kesehatan yang sudah stabil, tidak perlu melakukan kontrol kesehatan sebulan sekali atau seminggu sekali melainkan boleh tiga bulan sekali agar lebih efektif dan efisien. Bagi ODHIV yang dulu mendapat kombinasi 3 obat, bisa dikemas jadi 2 atau 1 pil sesuai dengan rekomendasi,” ungkapnya Media Briefing bersama Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) di Jakarta pekan lalu.

Menurut Zubairi, pengobatan sebulan sekali ke rumah sakit yang saat ini masih berlaku bagi ODHIV dapat menimbulkan rasa frustasi dan kejenuhan serta memberatkan kondisi. Alih-alih menjadi rajin berobat, justru bisa memutus pengobatan bagi ODHIV.

Baca juga : HIV/AIDS: Gejala, Pencegahan, dan Pengobatan

“Ketika virusnya sudah terkontrol maka pemerintah harus bisa mengupayakan agar pemeriksaan dan pengambilan obat dilakukan tiga bulan sekali saja untuk menghargai perasaan ODHIV. Pengobatan HIV dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan sekali dalam sebulan ini jelas memberatkan dan tidak nyaman, belum lagi jika bicara biaya. Orang juga mempunyai rasa bosan,” jelasnya.

Menurut Zubairi, saat ini banyak ODHIV yang memiliki tubuh sehat melebihi orang seumuran tanpa infeksi HIV. Kendati dianjurkan untuk melakukan pengobatan 3 bulan sekali, masih banyak ODHIV yang mengalami putus pengobatan. Disebutkan putus obat menjadi salah satu tantangan dalam penanganan kasus HIV/AIDS di Indonesia.

“Banyak faktor penyebab mengapa terjadi putus obat, karena ODHIV merasa takut akan efek samping obat, bosan dengan pengobatan yang terlalu rutin, sulitnya akses obat karena faktor ekonomi dan terbatasnya layanan fasilitas kesehatan,” jelasnya.

Untuk meminimalisasi adanya keterputusan pengobatan ODHIV, Zubairi merekomendasikan berbagai fasilitas kesehatan menerapkan sistem partisipatoris dengan mengedepankan peran komunitas. Dalam hal ini, faskes harus menyiapkan relawan dan konselor-HIV.

“Pelayanan yang melihatkan peran komunitas sebagai relawan ini telah terbukti dapat membantu ODHIV untuk kembali mengakses obat ART dan menjaga agar tidak putus berobat, begitupun dengan ODHIV pengguna Narkotika bisa ditangani melalui pendekatan yang berbeda melalui peran komunitas,” ungkapnya. (H-2)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat