visitaaponce.com

Pabrik SKT Salatiga, Sandaran Hidup Perempuan Pelinting Tembakau

Pabrik SKT Salatiga, Sandaran Hidup Perempuan Pelinting Tembakau
Suasana pekerja linting tembakau di pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT)(dok.ant)

KEBAHAGIAN terpancar dari wajah Andini, ketika perempuan berparas ayu ini menceritakan pengalamannya bekerja sebagai buruh linting tembakau di pabrik Sigaret Kretek Tangan di Salatiga, Jawa Tengah.

Perempuan berusia 20 tahun ini bekerja sebagai buruh linting tembakau di bagian kemas sejak pandemi Covid-19 tepatnya 2020. Andini awalnya bekerja di salah satu perusahaan swasta di Kuningan, Jawa Barat.

Sebelum pandemi, perusahaan tempat Andini bekerja baik-baik saja. Sejak pandemi melanda, perusahaannya mengalami gejolak dan terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Andini menjadi salah satu korban dampak dari pengurangan karyawan di perusahaannya tersebut.

Sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara pasangan Deden Lukman Hakim (44) dan Dede Yani (42), Andini merasa bingung dan sempat putus asa. Andini yang seharusnya bisa membantu meringankan beban ekonomi keluarga pesimistis bisa mendapatkan pekerjaan yang mapan saat pandemi.

"Saya dapat informasi dari salah satu keluarga saya di sini bahwa di pabrik SKT di sini ada lowongan pekerjaan di masa pandemi," kata warga Sidorejo Kidul ini, kemarin.

Andini kemudian melamar pekerjaan di pabrik SKT tersebut. Ia sangat bersyukur dan senang bisa diterima menjadi pelinting tembakau dan tulang punggung keluarga di rumah.  "Setelah bekerja di sini, saya merasa senang dan ini berkah bagi saya. Perusahaan mana yang mau menerima karyawan di masa pandemi. Justru pabrik ini bisa mewadahi semangat kerja saya," ungkapnya.

Pendapatannya sebagai pelinting cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta biaya sekolah tiga adiknya. Sementara tiga adiknya yang lain belum sekolah karena masih kecil. Tiap bulan Andini bisa menyisihkan sedikit dari pendapatannya untuk ditabung.

Keinginan Andini melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi bisa tercapai berkat hasil jerih payahnya sebagai buruh linting tembakau di SKT Salatiga. Ia baru saja masuk kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) AMA Salatiga.

Di sisi lain, Andini bersama para pelinting tembakau di SKT selalu khawatir dengan rencana pemerintah yang akan menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada 2023.
Andini berharap PHK yang dulu pernah menimpanya saat pandemi tidak terulang kembali akibat kebijakan cukai yang akan berdampak pada produktivitas pabrik tempat ia bekerja.


Efek dominonya tentu saja pada perekonomian keluarganya ketika pabrik tempatnya bekerja mengurangi ataupun bahkan menghentikan aktivitas produksi. Andini berharap Pemerintah bisa memahami kekhawatiran buruh linting tembakau SKT.

"Saya berharap pemerintah mendengar suara kami. Saya berharap pemerintah mampu melindungi kami. Karena dengan pekerjaan ini, kami bisa bertahan hidup. Bisa menafkahi keluarga, menjadi tulang punggung keluarga, saya bisa melanjutkan pendidikan. Saya mohon pemerintah mendengar aspirasi kami," ucap Andini.

Amarul Masriah (40), salah satu buruh linting lainnya berharap pemerintah  terus berikan kesempatan agar pekerja  linting masih tetap bisa bekerja memenuhi kebutuhan keluarga.

"Harapannya di sini SKT masih bisa berjalan, bisa berproduksi agar kami bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan teman-teman kami tidak di-PHK," harap Amarul.

Amarul menceritakan mulai bekerja di SKT pada 2002 lalu. Awalnya, Amarul diajak oleh temannya yang sudah lebih dahulu bekerja di pabrik SKT. Ia merasa pesimis bisa diterima di SKT karena sebagai penyandang disabilitas. Sejak usia 3,5 tahun, Amarul memiliki masalah pada kakinya.

Amarul sempat tidak percaya dengan kondisinya sebagai seorang penyandang disabilitas bisa diterima bekerja sebagai buruh linting di pabrik SKT Salatiga. Amarul diterima di bagian giling dan bekerja sampai sekarang.

"Saya merasa bangga dapat bekerja di sini bersama teman-teman saya untuk bisa memproduksi SKT. Saya merasa nyaman juga bekerja di sini karena teman-teman, dan manajemen tidak ada yang mendiskriminasi atau membedakan antara kita," ungkap Amarul.

Pendapatannya sebagai pelinting cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga serta biaya sekolah ketiga anaknya. Anak pertamanya bernama Salma. Salma masih duduk di bangku SMA. Anak kedua adalah Faza. Faza masih kelas IV SD dan anak ketiga Sabita kelas 3 SD.

"Selama di sini saya bisa mencukupi kebutuhan keluarga saya dan bisa menyekolahkan anak saya. Dan juga sekaligus menjadi tulang punggung keluarga saya," terang dia. (OL-13)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat