visitaaponce.com

Lansia Tunanetra Ini Hidup Sebatang Kara di Hutan Flores Timur

Lansia Tunanetra Ini Hidup Sebatang Kara di Hutan Flores Timur
Tomas Duli Sogen, 90, berada di depan gubuknya di Kampung Lewokoli, Flores Timur, NTT.(Metrotv/Fransiskus Gerardus Molo )

TOMAS Duli Sogen, 90, tinggal sebatang kara di sebuah gubuk reyot tua beratapkan daun lontar. Pria tuna netra ini menetap di kebunnya yang berada di Kampung Lewokoli, Desa Aransina, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur (Flotim), Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Jauh dari keramaian kampung, Tomas hidup dalam kesunyian dan kegelapan. Meski usianya sudah lanjut, dia tetap bergelut dengan getirnya hidup dalam kesendirian. 

Kisah Tomas itu membuat Metrotv memutuskan untuk menyambanginya.  Kami memulai perjalanan dari  Kota Larantuka menggunakan mobil menuju Desa Aransina, Jumat (17/3) malam.

Baca juga: Pemda Flores Timur Tertibkan Aset Daerah

Kami menempuh perjalanan sejauh 35 kilometer dengan waktu tempuh 90 menit dari Kota Larantuka. Jalan yang kami lalui telah beraspal  mulus sehingga Memudahkan kami tiba lebih cepat di Kampung Lewokoli di daerah pedalaman.

Saat tiba Kampung Lewokoli, mobil yang kami bawa harus diparkir di halaman kampung. Kami kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kediaman Tomas, yang berada di kebun, kurang lebih 300 meter dari permukiman warga kampung.

Menyisir malam dengan berjalan kaki. Kami harus melewati lembah bermodalkan penerangan dari senter ponsel. Remang cahaya lampu senter ponsel memperlihatkan kondisi gubuk tua milik Tomas. 

Baca juga: Jelang Prosesi Semana Santa dan Festival Bale Nagi, Kota Larantuka Minim Penerangan

Sekitar pukul 21:15 Wita, kami tiba dan rupanya Tomas masih terjaga.

"Buka saja”, serunya dari dalam pondok saat kami memanggilnya dari luar gubuk. Ia meminta kami untuk mendekat di gubuknnya. 

Tomas mengarahkan kami pada dua lembar daun lontar yang bergelantungan. Tampak dua lembar daun lontar dililit dengan tali nilon berwarna biru. Dua daun lontar itu menjadi penutup pintu gubuknya.

Daun-daun lontar yang cukup lebar itu digeser ke samping. Cahaya lampu senter ponsel kami menembus  isi dalam gubuknya. Rumah Tomas hanya berukuran 2×1 meter. Kondisi ini membuat kami harus jongkok untuk bisa masuk ke dalam rumahnya yang reyot ini. 

Ia menyendengkan telinganya mendengar derap langkah kaki kami di dalam gubuknya. Dengan ramah, Thomas  mempersilahkan kami duduk di sampingnya.  Tepatnya di bekas tempat penyimpanan hasil panen yang digunakan Tomas untuk tidur. 

Mata yang tak bisa melihat akibat kebutaan yang ia alami sejak 2014 lalu, tidak membuat Tomas merasa takut. Ia tetap ramah menyambut kami. 

"Morit Goe maka pi no, tidak jadi  masalah. Mau susah juga tahan saja,” ungkapnya.

Ia mengatakan, setiap malam, dirinya menggunakan pelita sebagai penerang. Bahkan, situasi gelap pun ia abaikan.

“Takut juga. Tapi mau bagaimana lagi. Kita harus kuat, no,” ujarnya menutup perbincangan kami malam itu.

Pria lansia ini memiliki gaya humor tersendiri. Mengundang gelak tawa kami yang memecahkan kesunyian malam. Waktu kian larut dan badan kami yang mulai lelah mengantarkan kami untuk beristirahat. Berdempetan di dalam gubuk tua tanpa tempat tidur.

Kira-kira waktu menunjukan pukul 05.00 Wita, kami terbangun, saat suhu udara pagi yang dingin masuk melalui celah-celah gubuk bambu pada Sabtu (18/3). 

Cahaya matahari pagi belum menyingsing. Hanya terdengar suara-suara kicauan burung dan derap langkah Tomas yang menyalakan api.

Asap api menembus atap dan mengisi seluruh sisi gubuk daun lontarnya. Suhu udara pagi yang dingin perlahan kembali hangat. Pada bagian pintu, kedua lembar daun lontar pun sudah terbuka.  

Di area depan pintu itu, terlihat seekor ayam jantan, seekor ayam betina, dan 5 ekor anak ayam mengerubungi bongkahan nasi sisa.

Cahaya yang mulai masuk perlahan menerangi seluruh isi gubuk. Ada satu tempat tidur yang tidak layak. Juga beberapa potongan kayu dijadikan tempat rak gelas dan piring.

Rumah tidak layak huni itu didiami Thomas sejak 70  tahun lalu. Terlihat sosok tua itu sedang duduk di area tungku yang berada persis  didekat di tempat tidurnya  

Di atas tungku, terlihat sebuah periuk mungil dengan tutupan yang sedang bergerak akibat gelembungan uap panas yang terhantar dari perapian di bawanya. Opa Tomas Duli, sapaan warga kampung untuk lansia itu, sedang menunaikan  memasak.

“Saya hanya mengandalkan keluarga yang hantar beras no, minum air juga saya hanya mengandalkan air tadah hujan” bebernya sambil meniup api yang mulai padam.

Pada sisi kanan yang menempel pada dinding, terlihat sebuah piring, sebuah sendok, dan sebuah gelas. Berderet rapih dalam keadaan bersih. 

Tetes demi tetes air jatuh dari peralatan makanan ke tanah. Opa Tomas Duli rupanya baru selesai mencuci perlengkapan makannya itu.

“Goe biho wata, taha mea (saya sedang masak,saya masak beras merah). Sarapan pagiku, nasi merah, sudah siap,” serunya sembari mengembangkan senyumnya dan memperlihatkan isi dalam periuk mungilnya yang kian mengering tersebut.

Dia lalu menggapai dua belahan bambu berukuran panjang 30 cm. Bambu ini ia jadikan wadah untuk menyimpan air minum. Lalu terseok-seok merangkak keluar pondok.
 
“Sudah sangat lama saya tinggal di sini. Adem, nyaman, tidak terganggu oleh hiruk pikuk suasana di rumah dalam kampung. Bebas, dan saya menikmati itu. Pernah saya dibawa ke rumah oleh sanak keluargaku, namun saya pulang lagi ke sini, karena di sana saya tidak bebas,” kisahnya menjawab pertanyaan mengapa dirinya memilih tinggal di perkebunan yang telah menjadi hutan itu.

Hidup sederhana dengan segala keterbatasan tidak membuat Tomas patah semangat. Pria lajang yang telah berusia senja itu menikmati situasi kesendirian di kebun yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. 

Tomas menguatkan dirinya sendiri. Bahwa kekurangan yang menimpahnya adalah kekuatannya. Kekuatan fisik  yang terus menurun, mata yang buta, dan pendengaran mulai tak jelas, tidak membuat Tomas berhenti memaknai kehidupan. Ia tetap hidup dan bertahan dalam keserderhanaan tanpa keluh.
 
Ia malah merasa lebih nyaman. Bahkan, Ia tetap memilih tinggal di hutan meski ia tidak mempunyai lahan pertanian. Pondoknya kian lapuk dan reyot karena kerap tertembus air hujan di kala musim datang hujan. 

“Ada Tuhan yang selalu bersama saya, selalu menjaga, merawat, melindungi saya,” timpalnya sembari meragakan dirinya ketika berdoa.

Tidak ada kecemasan sedikit pun yang ia tunjukan. Ia mengisahkan sejak mengalami kebutaan, dirinya malah tambah bersemangat menjalani sisa umurnya yang uzur. 

Gambaran ketekunan dirinya sebagai petani di usia muda, keuletan dia sewaktu berburu binatang, rupanya terus menghiasi ketidakberdayaan fisiknya kini.

“Sudah hampir 70an tahun saya tinggal sendiri di sini. Tidak pernah sakit.  Walau seorang diri saya selalu berdoa, menyanyi, kasih makan ayam, ambil air yang saya tadah dari daun, dahan kelapa,” tuturnya sambil mengambil tongkatnya dan bergerak menuju sebatang kelapa yang adalah sumber air baginya.

Jaraknya sekitar 300 meter dari pondoknya. Sambil menghentak-hentak tongkat pada area yang biasa dilaluinya itu, Opa  Tomas Duli pun tiba tanpa hambatan. Sambil menyentuh ember dengan tongkatnya, dia lalu menyentuh fisik ember, dan berkata, "Semalam tidak hujan ! Tak air dalam ember ini."

Saat kami akan pergi, Opa Duli berpesan, "Jangan pernah risau dan putus asa menghadapi setiap perisitiwa hidup. Nikmatilah itu dengan riang, sebab ada Tuhan yang senantiasa menyertai kita." 

Ia tersenyum kemudian mengucap terima kasih karena telah mengunjungi dirinya. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat