visitaaponce.com

Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu Gelar Seminar Peringati Hari Maleo Sedunia

Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu Gelar Seminar Peringati Hari Maleo Sedunia
Memperingati Hari Maleo Sedunia, Indonesia diingatkan keberadaan sawta yang mulai mengalami penurunan jumlah varietasnya.(MI/Mitha Meinansi)

MEMPERINGATI Hari Maleo Sedunia setiap 21 November, Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) Seminar Nasional Maleo 2023, di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (21/11). Peringatan satwa endemik Indonesia yang ada di Sulawesi ini dicanangkan pertama kali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam puncak acara Festival Maleo di objek wisata Lombongo, Gorontalo, pada 2020.

"Keberadaan Maleo di Pulau Sulawesi menjadi perhatian khusus karena endemik ini merupakan satwa penting di wilayah kita," kata Kepala BBTNLL, Titik Wurdiningsih.

Menurut Titik, populasi Maleo sebagai endemik Indonesia yang ada di Sulawesi seperti di Bone Bolango dan Pohuwato, Gorontalo, serta Sigi dan Banggai, Sulawesi Tengah, saat ini kritis. Penurunan akibat ancaman varietasnya yang terus terjadi, sehingga populasi pasti secara global belum terjawab. "Yang pasti diperkirakan sebesar 8.000 sampai 14.000 individu dewasa," sebut Titik.

Baca juga: Ini Penyebab Bulu Kucing Rontok dan Cara Mengatasinya

Ia menekankan upaya untuk melestarikan Maleo, adalah bagian dari melestarikan hutan. "Melestarikan Maleo berarti kita juga harus mempertahankan hutan sebagai habitatnya serta bentang alam disekitarnya," tandas Titik.

Seminar dengan tema Indonesia Bangga Memiliki Maleo itu, bertujuan menginformasikan kondisi Maleo terkini di Sulawesi, memperoleh dukungan luas untuk  pelestarian Maleo di Indonesia, serta terdapat pertukaran informasi, pengetahuan, dan pembelajaran dari seluruh lokasi-lokasi peneluran Maleo yang dikelola secara intensif di seluruh Sulawesi.

Baca juga: Hari Cinta Puspa dan Satwa, ini Peran Mind Id

Berdasarkan data BBTNLL, TN Lore Lindu di Sulawesi Tengah, kawasan konservasi seluas 215.733,7 hektare itu menjadi kawasan kunci perlindungan satwa ini. Burung Maleo merupakan salah satu flagship dalam setiap aksi kampanye perlindungan kawasan TN Lore Lindu maupun konservasi keanekaragaman hayati, tidak saja untuk Lore Lindu dan Sulawesi, namun juga untuk Indonesia dan dunia.

Maleo Indonesia, senkawor Macrocephalon maleo merupakan burung anggota suku Megapodiidae yang hanya tersebar di Sulawesi, Bangka, Lembeh, dan Buton. Secara nasional, jenis ini dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 7/1999 beserta perubahan lampirannya berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/ 
Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018.

Burung Maleo memiliki posisi yang cukup penting di Provinsi Sulawesi Tengah karena satwa ini telah ditetapkan sebagai maskot Provinsi Sulawesi Tengah pada 24  Februari 1990 melalui Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah, No.188.44/1067/RO/BKLH.

Secara global, Maleo Senkawor masuk dalam Appendix I CITES yang melarang perdagangan internationalnya. Saat ini, maleo termasuk dalam kategori kritis (Critically Endangered), satu langkah menuju kepunahan, menurut kriteria IUCN karena pengurangan populasi yang sangat cepat yang disimpulkan dari ditinggalkannya lebih dari dua pertiga tempat bersarang yang diketahui dan pengurangan cepat dalam jumlah yang mengunjungi situs aktif yang tersisa selama tiga generasi terakhir.

Hadir pembicara dalam seminar tersebut Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies
Genetik dari Kementerian LHK Jakarta, yang menjadi pembicara utama dengan tema pembahasan Kebijakan Pengelolaan Maleo (Macrocephalon maleo) di Indonesia dalam Implementasi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Maleo Nasional.

Sementara mengenai pembahasan kebijakan dan peran akademisi dalam konservasi Maleo di Indonesia disampaikan akademisi Pramana Yudha dari Universitas Atmajaya Yogyakarta dengan materinya mengenai kondisi populasi maleo di Indonesia. Sedangkan mengenai peran para akademisi dalam mendukung penelitian maleo disampaikan Hadijah Azis Karim.

Tiga pembicara lain yang menyampaikan kondisi Maleo terkini di Sulawesi, masing-masing Alfons Patandung (Wildlife Conservation Society IP, Sulawesi) yang memaparkan upaya konservasi Maleo di Sulawesi Utara dan Gorontalo.

Sri Ningsih Mallombasang, Akademisi Universitas Tadulako, yang menyampaikan upaya konservasi Maleo di  Sulawesi Tengah dan Ali Bahri, Kepala Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, yang memaparkan upaya konservasi Maleo di Sulawesi Tenggara.

Seminar itu juga menghadirkan dua perwakilan masyarakat sebagai pembicara mengenai budaya dan tantangan pelestarian maleo di Sulawesi. Mereka adalah Kiplan Yasong, perwakilan masyarakat Tolitoli dengan memaparkan adaptasi kearifan lokal dalam mendukung pelestarian maleo.

Satu lagi adalah Jafar, perwakilan masyarakat Towuti, Sulawesi Selatan, yang mengurai adaptasi kearifan lokal dalam mendukung pelestarian maleo.

Melalui seminar tersebut, diketahui kondisi Maleo di TN Lore Lindu, tercatat 10 lokasi peneluran Maleo (BirdLife International 2001). Namun sampai saat ini hanya tercatat sekitar enam lokasi yang dinilai masih aktif, yaitu Pakuli, Saluki, Hulu Rawa, Kadidia, Mangku dan Taveki.

Sementara di Sulawesi Tengah tercatat 54 lokasi peneluran Maleo, dengan 26 lokasi berada dalam kawasan konservasi dan 28 sisanya di luar kawasan konservasi. Dari 54 lokasi ini juga, 38 tercatat di pantai dan 13 di inland atau daratan. Dalam konteks pelestarian satwa Maleo beberapa tahun terakhir, BBTNLL masih fokus pada area nesting ground di Saluki.  (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat