visitaaponce.com

Kecintaan pada Sorgum Bawa Maria Loretha pada Svarna Bhumi Award 2023

Kecintaan pada Sorgum Bawa Maria Loretha pada Svarna Bhumi Award 2023
Maria Loretha, penerima Svarna Bhumi Award 2023.(MI/Fransiskus Gerardus Molo)

MAMA Sorgum, itulah julukan yang disematkan kepada Maria Loretha dari warga Desa Panjinian Kecamatan Adonara barat, Kabupaten Flores Timur, Nusa tenggara Timur (NTT). Julukan itu bukan tanpa alasan. Loretha adalah sosok perempuan yang gigih membangun kesadaran masyarakat untuk menanam dan mengonsumsi sorgum

Menurut Loretha, sorgum merupakan pangan lokal dan cocok untuk dibudidayakan di daerah yang memiliki kontur lahan dan iklim seperti NTT.

"Sorgum pernah menjadi makanan pokok masyarakat NTT. Namun, kebijakan untuk menjadikan beras sebagai makanan pokok pada 1970 membuat warga meninggalkan Sorgum," ujar Loretha.

Baca juga: Anggota DPR Usulkan Sorgum Alternatif Pangan Pengganti Beras

Ia Loretha mulai menanam pada 2007 dengan bermodal tujuh biji sorgum. Ia dan suami, Jeremias Letor, kala itu harus berburu bibit ke berbagai daerah di NTT.

Upayanya mulai membuahkan hasil pada 2010. Loretha mulai dikenal karena sorgumnya. Ia juga banyak diundang sebagai pembicara untuk berbagi ilmu tentang sorgum.

Baca juga: Anies Baswedan: Cuma Kami yang Mengusung Visi Agromaritim

Mulai 2014, Loretha bekerja sama dengan Keuskupan Larantuka Sebagai Manejer di Kantor Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Keuskupan Larantuka. Di sana ia bertanggung jawab mengembangkan sorgum.

Saat ini, sorgum kembali merebak di NTT. Komoditas itu kembali menjadi pangan alternatif selain beras dan jagung. Warga juga menggunakan sorgum sebagai bahan baku kue.

Berkat usahanya, Maria Loretha menerima banyak penghargaan, salah satunya adalah Pahlawan Svarna Bhumi Award 2023 dari Kick Andy. Loretha dianggap sebagai salah satu tokoh inspiratif dan pahlawan pangan Indonesia.

Awal mula mengenal sorgum

Loretha mulai mengenal sorgum pada 2005. Itu bermula saat salah seorang tetangganya, Maria Helan, memberinya sepiring sorgum yang ditaburi kelapa. Itu jadi pertama kali Loretha mengonsumsi sorgum, dan ia merasa rasanya sangat enak.

Ia pun bertanya pada Maria Helan tentang cara menanam dan memperoleh bibit.

Pada 2007, tekad Loretha untuk menjadi petani sudah bulat dan ia pun mulai banyak bertanya pada para petani lain. Ia banyak mencari tahu tanaman lokal apa saja yang pernah ada di desa dan bagaimana cara menanam serta merawatnya. Informasi pengolahan pangan lokal dan kandungan gizi dicari juga dari buku-buku pegolahan pangan lokal, internet, dan majalah Sinar Tani.

Bermodal tujuh biji sorgum, Loretha mulai menanam di kebunnya. Kebun luas yang sebelumnya penuh dengan pohon kelapa dan jambu, akhirnya dikosongkan dan diganti sorgum.

Tidak hanya mengembangkan tanaman pangan lokal sendiri di kebunnya, Loretha juga mengajak petani-petani yang tersebar di Flores untuk kembali menanam tanaman pangan lokal. Kini Loretha sudah mendampingi banyak gabungan kelompok tani di NTT.

Penyadaran secara umum mengenai pelestarian pangan lokal alternatif terus dilakukan oleh Loretha. Terhitung ada lebih dari 1.000 petani yang telah mengikuti jejaknya untuk aktif menanam sorgum.
 
Loretha juga sudah melakukan terobosan penting dalam menjaga ketahanan pangan di pulau-pulau kecil di NTT. Pada 2012, Loretha dianugerahi Kehati Award. Penghargaan tersebut diberikan pada Loretha di Jakarta. Bersamaan dengan itu, ia juga memperoleh hadiah uang senilai Rp25 juta. Uang tersebut ia belikan benih sorgum yang kemudian dibagi-bagikan pada para petani sorgum di Flores. Loretha sendiri hidup di sebuah rumah sederhana di tengah kebunnya yang jauh dari kampung para warga.
 
Berkeyakinan bahwa sorgum adalah jawaban atas masalah pangan di NTT, Loretha ingin agar pengembangan sorgum di provinsi tersebut mendapat dukungan banyak pihak. (Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat