visitaaponce.com

Ironi Kenaikan Tarif PNBP Perikanan dan Kelautan

Ironi Kenaikan Tarif PNBP Perikanan dan Kelautan
Bisman Nababan,(dok pribadi)

UPAYA pemerintah meningkatkan pendapatan negara melalui peningkatan tarif dan jenis pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sektor perikanan dan kelautan, merupakan ironi nyata di lapangan. Itu karena saat ini sumber daya (stok) ikan di laut semakin menurun akibat semakin meningkatnya pencemaran, dampak pemanasan global, dan keasaman air laut. 

Biaya penangkapan ikan di laut juga semakin meningkat akibat semakin meningkatnya harga-harga terkait alat dan perlengkapan kapal, dan hari layar menjadi bertambah akibat semakin sulitnya mendapatkan ikan. Meningkatnya hari layar mengakibatkan peningkatan biaya operasi khususnya biaya BBM yang merupakan biaya pokok dalam usaha penangkapan ikan.

Semestinya pemerintah membantu nelayan untuk mempermudah proses penangkapan ikan dan pemasarannya melalui peningkatan sarana dan prasarana perikanan di pelabuhan seperti telah diamanatkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Dalam kenyataan di lapangan, amanat UU Nomor 7 Tahun 2016 ini belum terlaksana dengan baik karena pasokan bahan bakar minyak (BBM) saja masih bermasalah sampai saat ini untuk nelayan. 

Ketersediaan BBM untuk nelayan di berbagai pelabuhan atau pendaratan perikanan hanya cukup untuk 10 hari dari 30 hari dalam sebulan. Belum lagi ketersediaan stasiun pengisian BBM di berbagai pelabuhan atau pendaratan ikan di Indonesia, baru tercapai sekitar 30% dari jumlah pelabuhan atau pendaratan ikan yang ada.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selanjutnya diperjelas dengan Kepmen KP Nomor 86 Tahun 2021 tanggal 18 September 2021 tentang Harga Patokan Ikan untuk Perhitungan Pungutan Hasil Perikanan dan Kepmen KP Nomor 87 tahun 2021 tanggal 18 September 2021 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan, terlihat banyak pasal dan ayat yang memberatkan nelayan dalam peningkatan tarif dan jenis pungutan PNBP tersebut.

Secara umum, tarif PNBP 2021 dibandingkan dengan tarif PNBP sebelumnya yang diatur dalam PP Nomor 75 Tahun 2015 meningkat bervariasi mulai dari 0% sampai dengan 100%. Kenaikan yang sangat nyata ini menjadi sangat berat bagi nelayan mengingat jenis tarif yang diberlakukan terhadap nelayan juga sangat banyak seperti; (1) surat izin usaha perikanan (SIUP), (2) pungutan hasil perikanan atas perizinan berusaha penangkapan ikan, (3) pelayanan tambat dan labuh di pelabuhan atau pendaratan ikan, (4) pelayanan dock kapal, (5) pelayanan pengadaan air, (6) pelayanan bengkel, (7) pelayanan pas masuk pelabuhan, (8) pelayanan penggunaan ruang pendingin, freezer, dan cold storage, (9) dan jenis pelayanan lainnya. 

Bila kita asumsikan kenaikan tarif pada 8 jenis layanan di atas diratakan menjadi 30%, total kenaikan tarif yang akan ditanggung oleh nelayan menjadi 8 x 30% = 210%. 

Kenaikan tarif PNBP ini menjadi sangat berat bagi nelayan. Mengingat dalam kenyataannya di lapangan jumlah tangkapan atau produktivitas tangkapan nelayan tidak meningkat 210% malah semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Itu akibat semakin berkurangnya stok ikan di laut dan semakin tidak menentunya cuaca ekstrim di laut. 

Dalam PP No 85 tahun 2021, ada jenis pungutan hasil tangkapan ikan pra produksi (sebelum berlayar) yang diberlakukan bagi kapal yang mendaratkan ikan pada pelabuhan yang belum memiliki fasilitas penarikan tarif PNBP pascaproduksi. Jenis pungutan hasil tangkapan pra produksi dihitung berdasarkan asumsi bahwa kapal itu akan menghasilkan tangkapan ikan maksimal. 

Contoh untuk kapal dengan ukuran 5-60 GT, maka pungutan hasil tangkapan ikan pra produksi adalah 5% x produktivitas kapal x harga patokan ikan x ukuran (gross tonnage) kapal. Untuk ukuran kapal 60-1000 GT dikali dengan 10% dan untuk ukuran kapal >1000 GT dikali dengan 25%. 

Sementara kapal yang mendaratan ikan pada pelabuhan yang sudah mempunyai fasilitas penarikan tarif PNBP pascaproduksi hanya dikenakan tarif 5% untuk kapal berukuran sampai 60 GT dan 10% untuk kapal berukuran >60 GT. Dengan demikian kapal dengan ukuran >1000 GT hanya membayar 10% hasil tangkapan ikan pada pascaproduksi sedangkan pada pra produksi akan membayar sebesar 25% (2,5 kali lipat). 

Pasal jenis pungutan hasil tangkapan ikan pra produksi merupakan salah satu pasal dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 yang sangat memberatkan atau merugikan dan tidak berkeadilan bagi nelayan, karena nelayan sudah harus membayar PNBP jenis ini sebelum berlayar. Dalam kategori ini, nelayan hanya menanggung rugi atau risiko karena belum tentu hasil tangkapan ikan optimal dalam setiap pelayaran. 

Dalam kenyataan, nelayan sering pulang tanpa hasil tangkapan ikan maksimal atau bahkan sampai tidak ada tangkapan ikan. Sementara PNBP harus dibayar dimuka sebelum berlayar berdasarkan perhitungan produktivitas kapal maksimal. Pemerintah semestinya melengkapi semua pelabuhan atau pendaratan perikanan dengan fasilitas siap melakukan penarikan tarif PNBP hasil tangkapan ikan pascaproduksi, bukan memberatkan nelayan karena pemerintah belum siap menyediakan fasilitas tersebut. 

Secara umum, nelayan tidak setuju adanya pasal jenis pungutan hasil tangkapan ikan pra produksi karena didasarkan akan asumsi hasil tangkapan ikan maksimal. Padahal dalam kenyataan tidak selalu demikian. Nelayan lebih setuju dengan jenis pungutan hasil tangkapan ikan pascaproduksi karena hal ini berdasarkan kenyataan di lapangan bukan berdasarkan dugaan atau asumsi. 

Sosialiasi yang minim

Terbitnya PP Nomor 85 Tahun 2021 tanggal 19 Agustus 2021 tanpa melalui sosialisasi yang cukup bahkan boleh dikatakan tanpa adanya sosialisasi sama sekali terhadap nelayan, organisasi masyarakat nelayan, organisasi profesi nelayan dan perikanan, organisasi pengusaha penangkap ikan, dll. Akibatnya para nelayan yang mendengar kenaikan tarif PNBP langsung naik pitam dan melakukan demo di mana-mana bahkan mogok berlayar. Padahal belum tentu semua item pada PP Nomor 85 Tahun 2021 naik dibandingkan dengan hal yang sama sebelumnya berlaku yaitu PP Nomor 75 Tahun 2015.

Setiap keluar PP yang baru dari pemerintah sering diikuti dengan demo-demo, karena isi PP tersebut sering tanpa sosialisasi yang cukup dengan masyarakat dan tanpa kajian ilmiah matang. Pemerintah juga dinilai terlalu cepat dan sering mengeluarkan peraturan tanpa sosialisasi yang cukup dengan masyarakat dan tanpa kajian ilmiah yang matang. Hal ini juga membuat pemerintah terlalu sering mengubah peraturan atau undang-undang.

Seyogianya setiap peraturan atau undang-undang yang dikeluarkan harus melalui sosialisasi dengan seluruh lapisan masyarakat, dan melalui kajian ilmiah yang matang. Sehingga isi dari peraturan atau undang-undang tersebut tidak akan membawa dampak negatif terhadap masyarakat.   

Proses penangkapan ikan di laut bukanlah hal mudah dan selalu berhasil. Itu karena banyak faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan penangkapan ikan di laut termasuk kondisi ekstrem cuaca serta semakin berkurangnya stok ikan di laut. Biaya operasional kapal juga semakin hari semakin mahal akibat semakin meningkatnya harga-harga terkait alat dan perlengkapan kapal serta biaya BBM yang semakin mahal.

Di samping itu, dalam setiap penjualan hasil tangkapan ikan, pemerintah juga memperoleh pendapatan dari pajak penjualan ikan. Untuk itu, perlu dikaji ulang akan kenaikan tarif dan jenis PNBP yang tertuang dalam PP Nomor 85 Tahun 2021. Di lain pihak, masyarakat masih membutuhkan sumber protein dari sektor perikanan sehingga pemerintah perlu memberikan rasa aman, dan saling menguntungkan dalam berusaha perikanan tangkap di Indonesia.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat