visitaaponce.com

Terjebak Blunder

 Terjebak Blunder
Lizzatul Farhatiningsih(Dok pribadi)

SAAT ini penggunaan kata blunder menjadi semakin luas dan populer digunakan dalam kehidupan sehari-hari.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, blunder diartikan sebagai kekeliruan atau kekhilafan. Blunder tidak hanya dapat dilakukan atau dialami oleh perseorangan, tetapi juga dapat terjadi di lingkungan instansi dan korporasi.

Beberapa kali kebijakan pemerintah menjadi sorotan dan dianggap blunder. Hal ini juga menjadi salah satu sebab terjadinya krisis dan kegaduhan di masyarakat. Dikutip dari Jurnal Masyarakat Indonesia LIPI, bahkan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) membuat daftar 37 pernyataan blunder pemerintah beberapa waktu lalu terkait penanganan covid-19. 

Selain informasi tentang penanganan covid-19, pemerintah juga dinilai blunder dalam menangani beberapa kasus seperti minyak goreng (mediaindonesia.com/ekonomi/479158/gerindra-pencabutan-het-hanya-untungkan-pengusaha), dan kartu BPJS yang menjadi syarat di segala urusan beberapa waktu lalu. Tidak hanya di Indonesia, pemerintah Swiss pun pernah mengakui blunder dan meremehkan covid-19 di awal kemunculannya.

Menurut Paul (2004), blunder terjadi karena pengambil keputusan terburu-buru untuk memberikkan pernyataan dan penilaian. Selain itu, kurangnya perencanaan yang matang juga menyebabkan praktik pengambilan keputusan yang rentan gagal. Kadang, blunder juga dianggap sebagai inkonsistensi dari si pembuat kebijakan atau pernyataan.

Paul (2004) menyebutkan tiga pendekatan alternatif yang dapat dilakukan pembuat keputusan untuk mengantisipasi blunder. Pertama, pembuat keputusan perlu mengidentifikasi terlebih dahulu permasalahan, apa yang menjadi kekhawatiran, dan kepentingan para stakeholders. Kedua, perlu merumuskan tujuan yang jelas. Hal tersebut tentunya dapat dilakukan dengan lebih mengelaborasi dampak-dampak dari suatu kebijakan atau keputusan yang dimabil. Terakhir, adalah menggunakan berbagai perspektif untuk memunculkan beberapa alternatif pilihan.

Ketiga pendekatan tersebut pada hakikatnya mengerucut pada kematangan perencanaan dan riset sebelum melakukan sebuah pengambilan keputusan. Selain itu, aspek inovatif dapat turut serta memunculkan alternatif-alternatif yang mungkin dipertimbangkan oleh pengambil keputusan. Selain ketiga hal tersebut, menunjuk seseorang menjadi juru bicara (jubir) juga penting bagi korporasi atau instansi pemerintah. Adanya jubir dapat meminimalkan kegagalan komunikasi dan menghindari blunder dalam memberikan pernyataan. Jubir juga dapat menjadi jujugan ketika berada dalam situasi genting yang memerlukan respons cepat. Hal ini tentunya juga dapat memudahkan media untuk mendapatkan pernyataan secara langsung dan akurat dari sumber yang terpercaya.

Perlu digarisbawahi blunder dapat merugikan reputasi. Sebagai garda terdepan, personel hubungan masyarakat (humas) perlu menyiapkan langkah-langkah strategis menghadapi krisis yang mungkin akan terjadi. Perlu kehati-hatian dalam menyusun dan mengirim pesan krisis agar dapat dipahami dengan jelas dan mudah. Salah satunya, dengan mengemas pesan secara sederhana dan to the point.

Selain itu kecepatan respons juga masih menjadi kunci. Publik biasanya akan langsung mencari informasi jika berita negatif muncul ke permukaan. Terlebih, saat ini, informasi dapat diakses dari berbagai penjuru dengan bermacam jenis media. Informasi yang didapat, meskipun sedikit, dapat memberikan pengaruh yang besar untuk pembentukan persepsi publik. Dengan begitu perlu bagi pemerintah untuk mengambil posisi pertamanya dalam memberikan informasi.

Hal yang perlu digarisbawahi selanjutnya adalah keterbukaan informasi. Masyarakat memerlukan informasi yang akurat, transparan, tidak ditutup-tutupi. Pernyataan pejabat yang berwenang atau juru bicara yang ditunjuk menjadi penting di sini. Sebab, hal itu akan memunculkan kepercayaan publik (public trust).

Public trust juga dapat dibangun melalui konsistensi yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi krisis yang terjadi pada instansi atau organisasinya. Konsistensi dapat membuat masyarakat dengan mudah menghafal ke mana harus menuju ketika membutuhkan informasi, baik berupa klarifikasi, maupun jawaban.

Dinamika yang terjadi di masyarakat memerlukan adanya tindakan-tindakan pencegahan krisis yang mungkin terjadi. Pemetaan isu dan monitoring yang dilakukan sehari-sehari dapat menjadi mitigasi awal yang dapat dijadikan dasar perencanaan. Dengan demikian perencanaan yang cermat dapat mencegah terbentuknya keputusan yang tergesa-gesa dan tidak efektif.

Pemerintah perlu melakukan perencanaan dan melihat lagi berbagai alternatif yang dapat digunakan di berbagai bidang untuk dapat memberikan ketenangan bagi masyarakat. Membiasakan diri untuk tidak hanya mengandalkan satu macam jalan keluar. Selain itu, membuka diskusi dengan media, dan para pemangku kepentingan, juga dapat meminimalkan risiko. Di sini kemudian kita melihat pentingnya kolaborasi multi-level yang mengintegrasikan tindakan kolektif dan individu.

Namun, perlu kita ingat krisis sering dianggap sebagai momentum untuk menciptakan alternatif dari suatu kebiasaan yang mungkin sudah terbentuk. Ya, istilah constructive destruction memunculkan harapan di balik terjadinya krisis di suatu negara.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat