visitaaponce.com

Bagai Emas Kehidupan, Budidaya Sorgum di Kabupaten Demak Makin Menggeliat

Bagai Emas Kehidupan, Budidaya Sorgum di Kabupaten Demak Makin Menggeliat
Indra Rochmadi, M.Si, Pengawas Mutu Hasil Pertanian (PMHP) pada Ditjen Tanaman Pangan, Kementan.(Ist)

TANAMAN yang satu ini tumbuh di banyak negara. Terutama di kawasan Afrika. Orang-orang di sana biasa mengolahnya menjadi kebutuhan tepung. Sebagian lainya dijadikan minyak. Di Indonesia, tanaman ini dibuat beras sorgum, gula, mie instan, juga dibuat kerupuk bahkan sampai ada yang dibuat pakan ternak. Tanaman ini adalah jenis tanaman serelia kelima selain padi, jagung dan juga gandum.

Adalah sorgum yang kini menjadi perbincangan banyak orang. Pasalnya, sorgum tengah dipersiapkan untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

Biasanya, sorgum tumbuh di wilayah kering. Di Kabupaten Demak, sorgum di tanam pada luas area yang di tanami produk hortikultura. Keduanya tumbuh saling mengisi dan saling menghasilkan. Itulah mengapa, bagi masyarakat sekitar, sorgum dianggap emas kehidupan yang menjadi mesin penggerak ekonomi.

Alasan ini tidak berlebihan memang mengingat semua bagiannya dapat diolah menjadi pangan dan pakan. Bahkan di antaranya biomas dan bioetanol.

Sejatinya, budidaya sorgum sudah dimulai sejak lama. Dirjen Tanaman Pangan, Suwandi bahkan mencatat penanaman dilakukan sejak tahun 1970. Sorgum juga disebut tanaman asli Indonesia yang tumbuh subur sejak nenek moyang kita.

Saat ini, pemerintah sudah menyiapkan sorgum sebagai komoditi penting dalam mengantisipasi krisis pangan dunia. Tidak menutup kemungkinan, sorgum juga lah yang nantinya akan menjadi kekuatan sekaligus pilar penyangga bagi aspek dan lini ekonomi dunia.

Saat ini Kementerian Pertanian tengah mengembangkan sorgum dengan produktivitas lebih dari 5 ton per hektar. Inilah yang dilakukan Kementan di Desa Ranji, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak. Hebatnya lagi, pengembangan sorgum di sana tetap menggunakan benih lokal yang dibenihkan lagi secara berulang-ulang.

Di antara proses pengembangan itu ialah melakukan penanaman sorgum dengan sistem tugal dengan jarak 40 X 40 cm. Dari satu lubang yang ditugal, benih yang ditabur 7 sampai 8 butir. Walaupun nantinya, benih yang tumbuh disisakan menjadi 3 batang sebagai bagian dari penjarangan yang dilakukan pada 15 hari setelah penanaman.

Proses ini dilakukan agar nantinya tanaman sorgum memiliki ruang pertumbuhan perkembangan yang cukup.

Dalam penjelasannya, Suwandi bahkan mengatakan masa penjarangan ini wajib dilakukan sebelum dilakukan penyiangan. Penyiangan adalah proses mencabut tumbuhan gulma yang merusak dan berpotensi menurunkan produksi.

Sederhanannya, menurut Suwandi, keberadaan gulma akan menjadi pesaing bagi tanaman utama dalam mendapatkan air dan unsur hara. Gulma yang telah dicabut sebaiknya dikubur agar membusuk dan menjadi kompos.

Selanjutnya, tanaman sorgum dilakukan pemupukan urea dan NPK. Masing-masing 300 kilo urea dan 200 kilo NPK (untuk satu hektare). Setelah tumbuh besar, ketinggian sorgum lokal biasa mencapai 2 meter.

Meski demikian, kita patut menyayangkan varietas sorgum lokal ini belum pernah dilepas. Padahal, produktivitasnya sangat tinggi.

Dari sisi pertumbuhan, sorgum lokal yang berusia 25 hari biasanya dihinggapi banyak hama. Pasukan ulat memakan bagian pucuk dan pasukan tikus menyerang bagian pangkal. Keduanya merupakan OPT penyebab turunya produktivitas. Karena itu, para petani Demak memakai beberapa pestisida untuk menanggulanginya.

Caranya, campurkan setengah liter Insektisida dan tiga botol Rodentisida (Mao Wang). Racikan ini terbukti ampuh bekerja secara aktif membasmi serangan hama sehingga kondisi sorgum tumbuh merata.

Setelah umur 80 hari atau sebelum panen, sebagian besar OPT yang mengganggu adalah burung. Kalau sudah menyerang, petani biasanya menutupi biji sorgum dengan plastik. Hal ini dilakukan agar sorgum yang ada tidak dimakan secara membabi buta.

Pasca-Panen

Pemanenan sorgum di Kabupaten Demak masih menggunakan cara manual alias tenaga manusia. Namun, intervensi teknologi terus dilakukan dari waktu ke waktu. Salah satunya penggunaan mesin perontok sebagai alat pembersih sorgum sebelum dilakukan penjemuran. Proses ini biasanya memakan waktu 4 hari.

Selanjutnya peningkatan mutu juga dilakukan dengan memilah sorgum yang bagus untuk meningkatkan nilai jual. Proses hilirisasi ini masuk pada tingkat pengemasan, pengolahan sampai dengan pemasaran. Disinilah para petani mendulang keuntungan.

Dari seluruh rangkaian ini, kelompok tani Rata-rata mendapat keuntungan Rp 30-50 juta yang dihitung berdasarkan harga saat ini sekitar Rp 7.500 perkilo. Keuntungan sebesar itu bisa bertambah apabila harga jual lebih tinggi lagi

Perlu diketahui, saat ini Kementerian Pertanian mulai mengembangkan 15 ribu hektare tanaman sorgum di seluruh Indonesia. Pada 2023, pengembangan tanaman ini akan diperluas dengan sangat signifikan menjadi 100 rb hektar.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam kesempatannya beberap waktu lalu mengajak masyarakat Indonesia untuk mengambil peranan dalam menguatkan ketahanan pangan nasional. Salah satunya menanam sorgum sebagai komoditas pengganti gandum yang saat ini mengalami tekanan akibat perang Rusia-Ukraina.

Jika melihat potensi ini, maka sudah saatnya masyarakat Indonesia berpikir bulat untuk memanfaatkan semua pangan lokal kita sebagai pengganti makanan utama. Selain hemat, pangan lokal juga lebih kaya akan kandungan kesehatan. Inilah pentingnya diversifikasi sebagai penguat pangan nasional.

Kita harus yakin, Indonesia mampu keluar dari zona krisis dunia yang melanda semua negara. Pertanian kita sudah jauh lebih maju, jauh lebih mandiri dan jauh lebih modern. Percayalah, bertani itu hebat dan bertani itu keren. (RO/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat