visitaaponce.com

Babak Berikutnya Sambo dan Eliezer

Babak Berikutnya Sambo dan Eliezer
Ilustrasi MI(MI/Seno)

HUKUMAN mati bagi Ferdy Sambo dan hukuman 1,5 tahun penjara bagi Eliezer patut dipandang sebagai keharmonisan yang paripurna antara keadilan yang hidup di luar ruang sidang dan keadilan yang bersemi di dalam ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Artinya, ada kesebangunan antara putusan majelis hakim dan ekspektasi publik.

Tapi, penilaian istimewa tidak hanya patut diberikan pada output persidangan berupa produk yudisial yang dihasilkan hakim Wahyu Imam Santoso, hakim Morgan Simanjuntak, dan hakim Alimin Ribut Sujono. Ketiga hakim itu juga membubuhkan catatan luar biasa terkait dengan proses perjalanan persidangan itu sendiri.

Mulai dari potret humanis yang majelis hakim 'biarkan' berlangsung pada sesi pertama persidangan. Yakni, ketika Eliezer langsung bersimpuh di hadapan keluarga mendiang Brigadir Yosua, mengakui kesalahannya, memohon maaf, dan menyatakan kesiapan untuk memikul tanggung jawab atas perbuatannya.

Pada momen itu, tindak-tanduk Eliezer benar-benar mirip dengan plea bargaining. Plea bargaining tersedia di sistem peradilan Anglo Saxon. Sementara Indonesia, yang bersistem Kontinental, tidak mengenal praktik plea bargaining itu. Artinya, tanpa melalui proses sidang yang panjang dan pelik, terdakwa selekas mungkin mengakui kesalahannya dan berkesungguhan hati untuk kooperatif demi terselenggaranya proses yudisial selancar mungkin.

Penelitian menyimpulkan, terdakwa yang mengajukan plea bargaining memiliki peluang tinggi untuk memperoleh peringanan sanksi, sekiranya ia divonis bersalah. Dan, secara 'kebetulan', dengan memperagakan tingkah laku yang menyerupai plea bargaining, Eliezer pada akhirnya memang mendapatkan hukuman paling ringan, bahkan sangat ringan jika dibandingkan dengan sanksi pidana yang dijatuhkan kepada para terdakwa lainnya di ruang sidang yang sama.

Di persidangan, di samping nota pembelaan dari penasihat hukum, Eliezer juga menyampaikan nota pembelaan pribadi. Isinya pun sangat menyentuh. Terasa betul bagaimana sisi humanis anggota Brimob itu mengemuka dalam untaian kalimat puitis yang ditulis dengan tangannya sendiri. Di alinea-alinea awal di pleidoinya itu, Eliezer berulang kali menulis dan mengucapkan permintaan maaf.

Secara keseluruhan, lewat pleidoinya, Eliezer tampil sebagai manusia yang penuh alpa. Sungguh berbeda tajam dengan pleidoi pribadi Sambo yang justru memuat nada serangan balik, bahkan kecaman di sana-sini. Sambo, kendati telah dipecat dari Polri, tetap mempertontonkan keangkuhannya selaku orang yang pernah menyandang dua bintang di pundaknya.

Tapi, betapa pun indahnya pleidoi pribadi Eliezer, studi menemukan bahwa pleidoi pribadi bukan sesuatu yang paling ditunggu-tunggu Yang Mulia saat akan membuat putusan. Secara berurutan, yang paling hakim tunggu-tunggu ialah nota pembelaan diri dari penasihat hukum terdakwa, disusul tuntutan jaksa, baru kemudian pleidoi pribadi terdakwa. Jadi, dengan skala kepentingannya yang rendah itu, pleidoi pribadi Eliezer bisa diramal tidak akan berpengaruh terhadap berat ringannya hukuman yang akan hakim timpakan kepada bharada itu nantinya.

Pemandangan tidak lazim yang juga dapat disaksikan ialah kesempatan yang majelis hakim berikan kepada keluarga korban untuk menyampaikan isi hati mereka segamblang mungkin kepada terdakwa. Teringat jelas bagaimana keluarga Yosua--tanpa teks--meluapkan amarah sekaligus kesedihan mereka kepada utamanya Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. Perkataan keluarga Yosua itu mirip betul dengan victim impact statement (VIS). VIS sendiri diadakan sebagai langkah koreksi otoritas yudisial yang selama sekian waktu kadung menganggap korban dan keluarganya tidak diperlukan di ruang sidang karena sudah diwakili oleh jaksa penuntut umum.

VIS atau--analog--apa yang keluarga Yosua lontarkan secara langsung dan terbuka di ruang sidang, sangat mungkin menggugah relung-relung hati majelis hakim--sesuatu yang kecil kemungkinan bisa dilakukan oleh jaksa penuntut umum lewat bahasa normatif di dalam nota dakwaan dan nota tuntutan mereka.

Catatan lain, majelis hakim mengamini rekomendasi LPSK terkait status justice collaborator (JC) bagi Eliezer. Ketika status JC disinonimkan dengan whistleblower, riset menemukan adanya dampak positif whistleblowing terhadap pemotongan hukuman.

Atas dasar itu semua, sebagaimana dimuat di banyak media, tersedia alasan kuat untuk membangun prediksi bahwa jika Eliezer divonis bersalah, hukuman penjaranya tidak akan seberapa. Apalagi, jika hakim juga bekerja ala strategic model dalam membuat putusan bagi Eliezer. Dengan strategic model, putusan tidak disusun hakim semata-mata berdasarkan hal-hal yang berhubungan langsung dengan perkara.

Hakim menjadikan putusannya itu sebagai instrumen untuk mencapai sasaran atau kepentingan di luar perkara itu sendiri. Salah satunya, boleh jadi ialah bagaimana hakim berpikir untuk menyelamatkan karier Eliezer di kepolisian. Dan, hukuman 1,5 tahun bagi Eliezer sudah tepat karena penjara lebih dari 2 tahun berkonsekuensi pada pemecatan anggota Polri yang melakukan pidana (sebagaimana ultimatum Kapolri Tito Karnavian kepada anggotanya yang dipidana dalam kasus korupsi pada 2017 lalu).

 

Babak berikutnya

Eliezer dan khalayak luas kini menarik napas lega seusai dijatuhkannya vonis atas Ferdy Sambo dan Richard Eliezer. Tapi, bersiaplah untuk babak berikutnya.

Pertama, bagi Polri, Richard Eliezer sepatutnya dipotret sebagai figur yang telah menanam benih tentang pentingnya whistleblowing di internal Korps Tribrata. Intisari whistleblowing adalah bagaimana setiap insan kepolisian istikamah bahwa kesetiaan pada sumpah jabatan adalah di atas kesetiakawanan dan kepatuhan yang menyimpang. Penting bagi Polri untuk membangun sistem dan menyuburkan kultur pro whistleblower di dalam lingkup internalnya.

Selanjutnya, jangan muncul kelalaian bahwa putusan hakim atas terdakwa Ferdy Sambo adalah halaman akhir perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua. Konkretnya, setelah perasaan bahagia dan ungkapan syukur, masyarakat perlu kembali meramaikan ruang publik, baik daring maupun luring, dengan pesan pengingat bagi negara agar tidak lalai melaksanakan putusan hakim (eksekusi) atas diri terdakwa.

Saya tidak memiliki data tentang masa jeda antara hari vonis dan hari pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia. Menggunakan data AS sebagai pembanding, terbit kerisauan. Pasalnya, pada 2020, rerata waktu sejak vonis mati dijatuhkan hingga eksekusi mati dilaksanakan ialah mendekati 19 tahun. Pada 30 tahun sebelumnya, masa tunggu bagi datangnya hari terakhir kehidupan terpidana mati ialah hampir 8 tahun.

Menjadikan angka-angka itu sebagai patokan dalam kasus Ferdy Sambo, maka bisa dipastikan mantan Kadiv Propam itu nantinya akan terbebas dari hukuman mati. Pasalnya, sebagaimana ketentuan dalam KUHP (revisi), terpidana mati yang berkelakuan baik dalam waktu 10 tahun sejak dipenjara tidak akan lagi dikenai hukuman mati dan dialihkan ke hukuman penjara seumur hidup. Ferdy Sambo pasti akan dinilai sebagai sosok budiman dalam waktu 10 tahun, bahkan kurang dari itu sejak ia menghuni hotel prodeo.

Pada sisi lain, publik dapat memperingatkan negara agar tidak melarikan diri dari pelaksanaan eksekusi mati atas diri terdakwa. Alat pengingatnya ialah kasus Freddy Budiman. Gembong narkoba itu divonis mati pada 15 Juli 2013, lalu ditembak mati pada 29 Juli 2016. Artinya, kalau punya kemauan sungguh-sungguh, sistem peradilan pidana Indonesia memiliki kesanggupan melaksanakan eksekusi dalam waktu tiga tahun sejak terdakwa divonis mati. Mari kita ulangi kejayaan hukum itu kembali. Wallahu a'lam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat