Jawara Banten, antara Persepsi dan Transformasi
![Jawara Banten, antara Persepsi dan Transformasi](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2023/02/5954e2243fd7d013a0d4001179e89eaf.jpg)
MASYARAKAT Banten merupakan masyarakat yang dikenal teguh dalam memegang nilai keagamaan serta adat istiadat. Unsur-unsur keagamaan dan budaya begitu melekat dalam lingkungan sosial mereka. Ulama dan Kokolot (tokoh adat) diletakan pada posisi penting dalam struktur masyarakat di Banten. Ulama memegang peran sentral sebagai subjek penyampai risalah keagamaan, dan dalam beberapa hal posisi ulama dapat lebih tinggi dari kedududukan sosial kelompok lain.
Di luar dua unsur tadi, terdapat satu unsur yang dianggap mempunyai ikatan tradisi dan sejarah yang kuat di Banten. Unsur itu ialah segmen yang diidentifikasi sebagai kelompok jawara. Saking melekatnya, kadang kala nama Banten sering disebut sebagai tanah jawara. Tetapi apa itu jawara dan bagaimana kiprahnya sehingga sedemikian melekat dalam identitas Banten?
Untuk menjawabnya kita perlu terlebih dahulu mendudukan Jawara dalam sudut pandang definisi, perjalanan sejarah, serta persepsi publik terhadap jawara sebagai salah satu unsur penting yang mengisi ruang sosial dan kebudayaan masyarakat.
Jawara
Nina Lubis, dalam karyanya berjudul Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan Ulama Jawara menuliskan bahwa jawara merupakan kata yang sudah sedemikian melekat bagi orang Banten. Menurutnya, dalam lingkungan sosial di Banten, jawara tidak bisa dilepaskan sama sekali. Jawara memiliki peran yang cukup dominan dalam masyarakat dan bahkan menyandang status tersendiri sejak masa pemerintahan kolonial.
Jawara biasanya memiliki asesoris yang khas; seperti berbusana serba hitam, bernada bicara tinggi, dan membawa senjata tajam berupa golok (biasanya di pinggang). Kelompok ini juga kerap disebut sebagai pendekar yang tergabung dalam organisasi maupun dalam hubungan kekeluargaan yang kuat.
Dalam berbagai literatur sejarah disebutkan bahwa kelompok ini dikenal sering membuat onar terhadap pemerintah kolonial maupun terhadap para pejabat lokal yang menjadi pembantunya. Beberapa di antara tindakan kelompok jawara tersebut menghadirkan keresahan massif di kalangan pejabat pemerintah kolonial. Tidak sedikit dari kelompok ini yang kemudian diasosiasikan sebagai bandit sosial oleh pemerintah kolonial.
Peta persebaran dan persepsi
Tidak ada indikator yang pasti menyangkut peta persebaran daerah yang diidentifikasi sebagai basis jawara di Banten. Tetapi untuk sekadar menyebutkan, terdapat beberapa wilayah seperti Cisimeut-Cibuah (Kabupaten Lebak), Walantaka-Anyer-Pamarayan (Serang) serta beberapa daerah lain yang terkenal dan melekat dengan keberadaan tokoh yang menyandang predikat jawara/pendekar.
Pembagian ini tentu bukan berdasarkan kajian ilmiah menyeluruh tetapi bukan juga sebagai pendapat semata. Cibuah misalnya, pernah terekam sebagai supplier tokoh yang melawan pihak penjajah bersama dengan salah satu daerah yakni Pamarayan (Serang). Hal ini sebagaimana tercatat dalam buku Pemberontakan Petani Banten karya Sartono Kartodirjo.
Sementara dari sudut pandang persepsi, kata jawara sangat lekat dengan beberapa pemaknaan. Pertama, jawara merupakan seorang atau sekelompok orang yang identik dengan perilaku kekerasan dan tindakan kriminal. Kedua, jawara adalah individu atau kelompok masyarakat yang dicitrakan dengan sifat perkasa, berani, dan memiliki kapasitas untuk melawan penindasan.
Adanya citra kekerasan yang melekat dalam identitas jawara besar kemungkinan akibat rekam jejaknya dalam menentang penjajahan sehingga membuatnya diidentifikasi sebagai kelompok yang asosiatif dengan nilai-nilai kekerasan. Konstruksi berfikir semacam itu pada gilirannya terekam sebagai realitas bahwa jawara adalah simbol kekerasan yang membahayakan. Labeliasi semacam itu tidaklah berdiri sendiri. Belanda sebagai pihak yang merasa terancam dengan keberadaan kaum jawara sengaja mengonstruksinya untuk kepentingan stabilitas kekuasaan.
Di lain sisi, banyak pakar sejarah mengatakan bahwa jawara juga dianggap memiliki sinergi peran yang besar bersama ulama. Itu semua karena keduanya (jawara-ulama) dianggap berjodoh dalam kombinasi pengetahuan keagamaan dan bela diri sebagaimana diungkapkan Prof Tihami (1992) dalam tesisnya berjudul Kiyai dan Jawara di Banten. Dalam hubungan yang lebih spesifik, sejumlah sejarawan menyebut posisi jawara yang tidak lain adalah murid sekaligus pelayan (khodim) kiai. (Gabriel Facal, 2016)
Para jawara bersama ulama, merupakan motor utama yang menggerakan perlawanan terhadap penindasan dan kolonialisme. Karenanya, kalangan ulama dan jawara sudah mengambil peran kesejarahan yang mengakar sehingga memiliki kelas tersendiri dalam stratifikasi masyarakat di Banten. Itu sebabnya saat membicarakan tokoh yang dianggap memiliki jasa, karisma dan layak dijadikan pemimpin, tidak akan jauh dari nomenklatur unsur kejawaraan dan ulama.
Transformasi
Seiring perkembangan zaman, persepsi negatif tentang jawara secara perlahan mulai berubah. Jawara yang semula identik dengan ciri khas seperti berbusana serba hitam, tutur kata kasar, membawa golok dan jimat kini beradaptasi dengan perubahan zaman. Perubahan itu terlihat dari adanya fakta bahwa para jawara telah memegang peranan penting di dalam struktur birokrasi pemerintahan di daerah Banten.
Para jawara juga telah menjadi pelaku ekonomi dan bisnis yang berperan besar dalam pembangunan infrastruktur di Banten. Dalam bidang sosial politik peran jawara juga sangatlah besar. Utamanya ketika mempengaruhi massa yang terkait dengan keputusan politik. (Agus R, 2018). Fenomena ini menjadi indikasi yang kuat tentang jawara yang tidak lagi menggunakan kekerasan sebagai sumber kekuatan.
Jawara atau kelompok pendekar yang tergabung dalam berbagai organisasi perlu melakukan transformasi terus menerus. Keberadaan kelompok jawara atau pendekar yang membawa nilai-nilai lokal sudah sepatutnya diarahkan pada visi untuk membangun daerah, sekurang-kurangnya membangun kesadaran tentang kearifan budaya bagi warga Banten.
Karena bagaimanapun, tentu bukan tanpa alasan bahwa keterkenalan nama jawara sampai melekat dengan nama daerah Banten pasti memiliki alasan positif. Bila di masa lalu kelompok ini dikenal berani menentang penjajahan, kini para jawara atau pendekar di Banten harus menterjemahkan keberaniannya untuk mengasah ketangguhan mental dan spiritual agar mampu berkontribusi untuk kepentingan yang lebih luas.
Terkini Lainnya
PLN Dinilai Makin Matang Jalankan Bisnis
Transformasi Human Capital Pacu Kinerja Perusahaan
Martin Setiawan Ditunjuk untuk Lanjutkan Tanggung Jawab Pengembangan Solusi Digital dalam Pengelolaan Energi dan Otomasi
Jadi Perusahaan Utilitas Terbaik di ASEAN, PLN Diapresiasi
Talentlytica Sabet Penghargaan Mitra Swasta Terbaik dari Pos Indonesia
21 Arti Mimpi Hamil Menurut Psikolog
Kursi DPRD di Bengkulu Naik, DPP Kawal Kinerja Anggota Dewan Terpilih
KPK Bantah Kasus Harun Masiku Musiman Politik
Fadia-Sukirman Optimis Hadapi Tantangan Kotak Kosong di Pilkada Pekalongan
Jokowi Diyakini Masih Punya Pengaruh di Pilkada 2024
BSKDN Kemendagri Minta Parpol Optimalkan Rekrutmen dan Kaderisasi
Gobel Ajak Rumania Bikin Joint Commission
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Sengkarut-marut Tata Kelola Pertanahan di IKN
Panggung Belakang Kebijakan Tapera
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap