visitaaponce.com

Mewaspadai Dampak Agresivitas Kebijakan Lingkungan Eropa terhadap Aktivitas Ekspor Indonesia

Mewaspadai Dampak Agresivitas Kebijakan Lingkungan Eropa terhadap Aktivitas Ekspor Indonesia
Analis Kerja Sama Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Iqbal Musyaffa.(DOK IST)

DALAM satu abad terakhir, suhu di Bumi meningkat 1,18 derajat celcius dan bahkan beberapa ahli memprediksi hingga 2027, kenaikan suhu di Bumi akan melewati ambang batas 1,5 derajat celcius. Kondisi ini dapat kita rasakan dengan semakin panasnya suhu udara di beberapa kota di Indonesia.

Kondisi Bumi bisa jauh lebih buruk dari saat ini, dengan adanya perkiraan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa Bumi akan semakin menghangat dengan kenaikan suhu mencapai 3,5 derajat celcius pada 2060 apabila tidak ada intervensi dari berbagai pihak untuk dapat menahan laju kenaikan suhu Bumi tersebut.

Terkait hal tersebut, perubahan iklim berpotensi mengubah struktur perekonomian global khususnya dalam tata cara pengelolaan sumber daya, investasi, dan kebijakan pembangunan. Perubahan iklim juga memberikan pengaruh pada pola produksi dan ekspor suatu negara yang kemudian menyebabkan perubahan pada pola perdagangan.

Uni Eropa merupakan salah satu pihak yang cukup agresif dalam menyikapi dampak perubahan iklim tersebut melalui kebijakan-kebijakan yang berdimensi global, salah satunya yakni EU Deforestation-Free Products Regulation (EUDR) yang bertujuan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia.

Regulasi tersebut mengatur bahwa setiap pedagang yang mengekspor komoditas ke Uni Eropa harus dapat memastikan produknya tidak berasal dari lahan yang dideforestasi atau berkontribusi terhadap degradasi hutan.

EUDR sudah disahkan pada 29 Juni 2023 yang lalu dan akan mulai berlaku pada 30 Desember 2024 untuk memberikan waktu kepada perusahaan dan Uni Eropa mempersiapkan implementasi dari regulasi tersebut. 

Uni Eropa melalui regulasi tersebut menyatakan bahwa komoditas ataupun produk terkait dalam EUDR tidak boleh ditempatkan atau disediakan di pasar Eropa dan juga dilarang untuk diekspor dari pasar Eropa, kecuali produk tersebut masuk dalam kategori bebas deforestasi, telah diproduksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara asal komoditas atau produk diproduksi, dan juga disertai dengan pernyataan uji tuntas.

Uni Eropa mendefinisikan bebas deforestasi ke dalam dua kriteria. Kriteria pertama adalah suatu produk yang mengandung, telah diberi, atau dibuat menggunakan komoditas terkait telah diproduksi dalam lahan yang belum mengalami deforestasi setelah tanggal 31 Desember 2020. Sementara kriteria kedua adalah produk yang mengandung atau dibuat dengan kayu yang telah dipanen dari hutam tanpa menyebabkan degradasi hutan setelah tanggal 31 Desember 2020.

Sektor Bisnis Indonesia Terdampak

Data Badan Pusat Statistk menunjukkan pangsa ekspor nonmigas Indonesia ke Uni Eropa pada bulan Oktober mencapai 6,08%. Ekspor Indonesia ke Uni Eropa menunjukkan tren menurun bila dibandingkan pada pangsa ekspor di bulan September 2023 yang sebesar 6,88%. Pangsa ekspor ke Uni Eropa secara year on year bahkan turun lebih dalam, karena pada Oktober 2022 ekspor Indonesia ke Uni Eropa mencapai 7,74%.

Baca juga:

Uni Eropa: Prancis dan Belgia Berisiko Langgar Aturan Anggaran

Pohon Investasi untuk Bumi

Tren penurunan pangsa ekspor ke Uni Eropa akan terjadi semakin dalam seiring dengan implementasi kebijakan perdagangan terbaru Uni Eropa tersebut. 

Uni Eropa merupakan salah satu konsumen utama komoditas pertanian yang dianggap memberikan kontribusi terhadap deforestasi dan degradasi hutan seperti kayu, minyak sawit, kedelai, kakao, kopi, karet, dan sapi. Komisi Eropa mengeluarkan impact assessment yang menyatakan bahwa deforestasi yang disebabkan oleh konsumsi komoditas tertentu oleh Uni Eropa mencapai 732 ribu hektare per tahun, atau setara dengan 10% dari total deforestasi global.

Sementara itu, Indonesia merupakan salah satu negara pemasok komoditas pertanian ke Uni Eropa seperti biji kopi, karet, kelapa sawit, dan kakao yang menjadi cakupan komoditas dalam EUDR. Bahkan, regulasi tersebut juga berlaku untuk produk yang mengandung, telah diberi, atau dibuat menggunakan 7 komoditas tersebut.

Pada 2022, ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke Eropa mencapai US$2,4 miliar, ekspor kayu sebesar US$391 juta, Karet US$541 juta, Kopi US$260 juta, Kakao US$583 ribu, kedelai US$46 ribu, dan produk olahan sapi US$614 ribu.

Kondisi tersebut jelas akan memberikan tantangan bagi sektor bisnis Indonesia, khususnya yang memasarkan produknya ke pasar Eropa, karena harus menyesuaikan praktik bisnisnya sesuai regulasi tersebut.

Pelaku bisnis perlu mengidentifikasi pemasok yang tepat guna memastikan bahan baku yang digunakan untuk produksi telah memenuhi ketentuan EUDR, serta perlu mempersiapkan dokumen yang diperlukan. Pelaku bisnis yang tidak memenuhi ketentuan EUDR nantinya tidak akan bisa memasarkan produknya di Eropa.

Komisi Eropa mulai 30 Desember 2024 akan menerapkan sistem klasifikasi tingkat risiko bagi negara-negara mitra dagangnya ke dalam tiga kategori, yakni risiko rendah, risiko standar, dan risiko tinggi yang ditentukan berdasarkan pertimbangan bukti ilmiah untuk laju deforestasi dan degradasi hutan, laju perluasan lahan pertanian, dan tren produksi komoditas dan produk terkait.

Meskipun tujuan dari penerapan EUDR dapat berdampak positif untuk mencegah laju deforestasi global, namun dari sisi perdagangan global akan dapat menimbulkan distorsi, termasuk juga bagi pelaku bisnis Indonesia.

Perkembangan EUDR dan peraturan turunannya perlu menjadi perhatian bersama antara pemerintah dan pelaku usaha dan juga melakukan sosialisasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Indonesia terkait ketentuan-ketentuan dalam EUDR serta mengidentifikasi masalah yang ada dalam rantai pasok.

Dialog dan diskusi dengan Uni Eropa juga perlu dibangun agar terdapat transparansi terkait poin-poin penting dalam regualsi tersebut, khususnya pada klasifikasi negara berdasarkan risiko.

Terlepas dari tujuan EUDR untuk mencegah laju deforestasi global, namun regulasi tersebut dapat dilihat sebagai langkah Eropa dalam melakukan diskriminasi perdagangan dan juga untuk membatasi aktivitas perdagangan global. Oleh karena itu, membawa EUDR ke dalam sengketa WTO menjadi salah satu opsi yang bisa dilakukan. (Z-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat