visitaaponce.com

Kisruh Menu Stunting

Kisruh Menu Stunting
(Dok. IPB)

PROGRAM PMT (pemberian makanan tambahan) untuk anak balita di Depok menjadi sorotan karena menunya dianggap tak sebanding dengan anggaran. Pemkot Depok menganggarkan sebesar Rp4,9 miliar untuk program tersebut dengan biaya Rp18.000 per porsi. Namun, harga Rp18.000 bukan murni untuk makanan, melainkan juga biaya wadah, cetak stiker, dan distribusi.

Hal yang paling menjadi sorotan ialah menu yang disajikan. Di awal program, menu yang diberikan berupa nasi, kuah sup, dan tahu kukus. Makanan tersebut dianggap tidak cukup memenuhi gizi balita dan tak sebanding dengan biaya per porsi. Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok menjelaskan program makanan tambahan untuk balita itu sudah sesuai petunjuk teknis (juknis) dari Kementerian Kesehatan.

Program pencegahan dan penanganan masalah gizi stunting mendapat perhatian penuh dari pemerintah sejak 2018.  Sebelumnya, program gizi lebih banyak menyasar anak balita penderita gizi buruk atau BGM (di bawah garis merah dalam kurva pertumbuhan anak).

Mengapa pemerintah kini sepertinya lebih fokus pada pengentasan stunting? Diketahui bahwa prevalensi stunting menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 ialah 21,6%. Angka itu lebih besar daripada persoalan gizi buruk yang prevalensinya 3,9% (Riskesdas 2018). Barangkali dengan melihat besaran prevalensi stunting yang memang jauh lebih tinggi menyebabkan pemerintah seolah switch untuk lebih fokus pada mengatasi stunting

Sebenarnya, di lapangan, persoalan gizi buruk juga tetap mendapatkan perhatian pemerintah. Kader-kader posyandu maupun bidan desa dengan sungguh-sungguh selalu menapis balita gizi buruk dan kemudian melaporkan ke puskesmas untuk diberi makanan tambahan khusus untuk penderita gizi buruk selama 90 hari.

Itu disebabkan persoalan stunting telah menjadi isu nasional dan pemerintah juga telah mengalokasikan dana untuk program stunting cukup besar, yakni sekitar Rp45 triliun pada 2022. Maka itu, gaung stunting di masyarakat menjadi lebih kentara daripada problem gizi lainnya.

Seluruh lapisan masyarakat sekarang ini semakin sadar dan lebih memahami stunting beserta akar penyebab masalahnya. Di berbagai media massa, istilah stunting sering diganti dengan tengkes, istilah baru yang selama ini tidak kita kenal.

Berbagai pihak kini mulai ramai-ramai melakukan intervensi stunting dengan ragam variasi di lapangan. Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok menjelaskan bahwa makanan yang diberikan sebagai PMT ialah berupa kudapan selama enam hari dan satu hari makanan lengkap (meals). Makanan tersebut diberikan selama 28 hari.  

Di Kota Bogor, anak stunting diberi intervensi telur setiap hari selama enam bulan. Di Karawang, Batang, dan Pasuruan, sebuah perusahaan swasta bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat memberikan intervensi makanan tambahan berupa telur dan susu setiap hari selama tiga bulan. Sementara, itu Badan Pangan Nasional dan BKKBN menyalurkan cadangan pangan pemerintah berupa telur dan daging ayam untuk 1,4 juta keluarga berisiko stunting di 23 provinsi di Indonesia.

Lauk-pauk hewani disarankan diberikan dua jenis dalam program bantuan makanan tambahan berupa meals (makanan lengkap). Jadi, apabila PMT tersebut diberikan dalam bentuk makan siang, lauk hewaninya bisa berupa telur puyuh dan daging ayam atau daging sapi dan ikan.  

Hal itu sebagai antisipasi rendahnya konsumsi pangan hewani di kalangan penderita stunting. Untuk menghemat anggaran, wadah meals/snack tidak harus selalu baru. Dengan dua wadah yang bisa dipakai berganti tiap hari, biaya pembeliah wadah bisa lebih dialokasikan untuk meningkatkan kualitas gizi makanan tambahan anak balita stunting.

Hari Gizi Nasional 2023 juga menekankan pentingnya peningkatan pangan hewani di kalangan masyarakat untuk menghindari masalah gizi pada anak-anak balita. Presiden Jokowi mengkritisi program stunting yang hanya memberikan makanan tambahan berupa biskuit. 

Kemajuan ekonomi suatu masyarakat ternyata diikuti oleh meningkatnya konsumsi telur. Amerika Serikat dapat dikatakan sebagai konsumen telur tertinggi, yaitu 314 butir/orang/tahun, Inggris 290 butir, Jepang 269 butir, negara-negara Eropa lain 210 butir, dan Indonesia sekitar 125 butir.

Untuk anak-anak yang masih dalam pertumbuhan, kebiasaan mengonsumsi telur merupakan jaminan untuk mendapatkan intake gizi yang baik untuk menopang pertumbuhan fisik dan kecerdasannya. Studi menyebutkan bahwa anak baduta yang mengonsumsi telur sebutir sehari pertumbuhan tinggi badannya lebih baik.

Setiap tahun lahir sekitar 4,5 juta bayi di Indonesia. Kalau dalam rentang pertumbuhannya sampai usia balita 21,6% anak-anak tersebut mengalami stunting (pendek), berjuta-juta anak Indonesia terancam masa depannya.  Mereka akan tumbuh dalam situasi kecerdasan yang terhambat yang membuat kemampuan bersaingnya menjadi rendah.

Intervensi langsung berupa bantuan pangan kepada anak stunting belum secara merata dilakukan di perdesaan. Padahal, dengan memberi bantuan telur sebutir sehari, hanya diperlukan Rp800.000 per anak per tahun. Bila jumlah anak stunting per desa 25 anak, hanya butuh dana Rp20 juta per tahun atau hanya 2% dari dana desa yang rata-rata sebesar Rp1 miliar. Kepala BKKBN pernah mengusulkan bahwa 10% dana desa hendaknya bisa dialokasikan untuk program stunting di desa.

Suatu artikel di jurnal Pediatrics menyimpulkan penelitiannya bahwa pemberian telur tiap hari sebagai makanan tambahan dapat meningkatkan tinggi badan menurut umur, berat badan menurut umur, dan mengentaskan prevalensi stunting pada anak hingga 47%. Selain itu, konsumsi makanan manis di kalangan anak juga turun dan konsumsi telur meningkat secara signifikan.

Peningkatan konsumsi pangan hewani perlu mendapat perhatian kita semua. Selain telur, upaya menggalakkan minum susu dapat menjadi salah satu mata rantai untuk meraih SDM yang bermutu.  Tanpa endorsement dari pemerintah tentang pentingnya minum susu, kita akan tetap menjadi bangsa kerdil.  Masyarakat kita umumnya manut dengan pemimpinnya. Oleh sebab itu, peran pemerintah sangat penting dalam kampanye minum susu.

Pada awal 1950-an, Prof Poorwo Sudarmo (Bapak Gizi Indonesia) mencetuskan empat sehat lima sempurna dengan menempatkan susu pada urutan terakhir. Karena ada kata sempurna, seolah-olah susu ialah penyempurna makanan kita sehari-hari. Padahal, barangkali saja susu diletakkan di urutan terakhir karena bangsa kita belum begitu mengenal susu dan susu masih merupakan barang langka yang harganya mahal.

Budaya minum susu yang masih sangat rendah bisa disebabkan adanya anggapan bahwa susu adalah komoditas luks dan hanya untuk golongan menengah ke atas.  Mayoritas masyarakat Indonesia tampaknya lebih mementingkan membeli pangan sumber karbohidrat daripada minum susu. Apakah kebiasaan minum susu perlu menunggu hingga negara kita menjadi negara maju pada 2045? Seharusnya tidak demikian.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat