visitaaponce.com

Menanti Gagasan Ekonomi Cawapres

Menanti Gagasan Ekonomi Cawapres
Ilustrasi mI(MI/Seno)

JIKA tidak ada aral melintang pada Jumat, 22 Desember 2023, seluruh rakyat Indonesia menantikan sesi kedua debat capres-cawapres. Berbeda dari debat pertama, agenda debat kedua ini dikhususkan untuk para cawapres sehingga nantinya Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD akan beradu gagasan. Tema yang sudah ditetapkan oleh KPU adalah ekonomi (ekonomi kerakyatan dan ekonomi digital), keuangan, investasi pajak, perdagangan, pengelolaan APBN-APBD, infrastruktur, dan perkotaan.

Debat kedua ini tentu akan menjadi perhatian banyak pihak, terutama kalangan dunia usaha, akademisi dan para ekonom, mengingat ketiga cawapres memiliki latar belakang yang berbeda satu dengan yang lain. Muhaimin Iskandar (Cak Imin) ialah politikus senior yang sudah malang melintang, baik di pemerintahan maupun di parlemen. Gibran Rakabuming Raka (Gibran) ialah pengusaha muda dan Wali Kota aktif Kota Solo dan Mahfud MD ialah menko polhukam dan pakar hukum.

Dari tema debat cawapres yang sudah ditetapkan oleh KPU terasa kurang menggigit, dan terkesan kurang fokus terhadap isu yang diangkat, tentunya, diharapkan akan berkembang menjadi fokus permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi dalam dua dekade terakhir, semenjak Presiden Joko Widodo dilantik periode pertama tahun 2014. Para panelis yang memiliki latar belakang beragam, mulai akademisi, peneliti, dan pengamat yang memiliki keahlian yang sudah dikenal masyarakat dengan sangat baik, diharapkan mampu mengajukan permasalahan ekonomi yang tajam, kritis, dan akurat.

Para panelis diharapkan tidak terjebak dengan pertanyaan yang bersifat formalitas sesuai dengan tema yang sudah ditetapkan oleh KPU. Persoalan ekonomi yang sedang kita hadapi jauh lebih rumit dari yang terlihat di permukaan. Baik persoalan yang bersumber dari dalam negeri (internal), maupun kondisi ketidakpastian dari luar negeri (eksternal).

Dampak pandemi covid-19 berlanjut menjadi persoalan geopolitik yang bersifat persisten, membuat ketidakpastian ekonomi semakin tinggi. Bahkan, perekonomian global masih menghadapi triple horor yang masih berlangsung, inflasi tinggi, tingkat suku bunga tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.

 

Penghambat yang perlu diselesaikan segera

Tentu belum lepas dalam ingatan kita semua, sesaat setelah Presiden Joko Widodo dilantik menjadi Presiden ke-7 RI pada Oktober tahun 2014, Jokowi menyatakan ekonomi Indonesia akan segera meroket di atas 7%. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya justru melenceng jauh dari yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2019 dan 2020-2024. Stagnasi pertumbuhan ekonomi tersebut berdampak pada tidak berkembangnya sektor ekonomi lainnya.

Persoalan stagnasi pertumbuhan ekonomi bukan tanpa disadari oleh pemerintah saat ini. Kementerian PPN/Bappenas pernah membuat kajian mengenai kendala paling mengikat (most binding constraint) bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kajian ini merupakan salah satu background study penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Kajian ini menggunakan pendekatan yang populer dikenal dengan Growth Diagnostics sebagai instrumen mengidentifkasi faktor paling menghamat laju pertumbuhan di suatu negara.

Studi ini menemukan bahwa regulasi dan institusi merupakan penghambat utama terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Regulasi yang tidak efisien menciptakan biaya tetap (fixed cost) yang tinggi. Hal itu, tergambar dari angka ICOR terakhir berada pada angka 7,6. Dengan kata lain, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi 1% membutuhkan peningkatan investasi infrastruktur sebesar 7,6%. Sementara itu, sejumlah negara maju memiliki standar ICOR di bawah 3.

Begitupula, dalam hal institusi penyusun regulasi dan pengawasan yang sangat lemah dan praktik moral hazard. Selain dua isu itu, hasil studi ini juga mengidentifikasi lemahnya modal manusia (SDM) sebagai penghambat utama di masa depan, khususnya dalam hal keterampilan dan pendidikan. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari kualitas pendidikan dan kesehatan di Indonesia berada dalam posisi yang sangat tertinggal, dibandingkan dengan negara peers. Terakhir, kurang efektifnya APBN dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Lemahnya kualitas dan daya saing SDM, menyebabkan sektor industri nasional jalan di tempat, bahkan masuk dalam kategori deindustrialisasi. Sejak 2011, kontribusi industri pengolahan tak pernah lagi mencapai 22%. Bahkan selama lima tahun terakhir, kurang dari 20%. Pada 2022, kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional tinggal tersisa 18,3%.

Bahkan, peran sektor industri di Indonesia terhadap perekonomian nasional jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di kawasan dan hanya unggul dibandingkan Timor Leste, Laos, Filipina, dan Kamboja. Oleh sebab itu, perlu dibedah pendalaman sektor industri manufaktur yang selama ini jalan ditempat.

 

Keadilan ekonomi makin menjauh

Tidak wujudnya keadilan ekonomi yang menjadi fondasi dasar dari cita-cita konstitusi dalam memajukan kesejahteraan umum, masih jauh api dari panggang. Bahkan sebaliknya, ketimpangan dan keadilan ekonomi makin menjauh. Data LSM asal Inggris Oxfam mengilustrasikan harta empat orang terkaya di Indonesia itu, setara dengan akumulasi kekayaan milik 100 juta penduduk. Temuan tersebut terkonfirmasi dari data publik kepemilikan DPK perbankan yang dikeluarkan oleh LPS, disinkronkan dengan data kepemilikan rekening yang dikeluarkan oleh Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI).

Ketimpangan jurang kaya dan miskin semakin menganga, jika menggunakan data uang simpanan di bank lebih parah. Sebanyak Rp4.231 triliun atau sekitar 53% dari total DPK perbankan yang mencapai Rp8.049 triliun itu cuma dimiliki oleh hanya 0,02% populasi penduduk Indonesia. Kalau dijumlahkan, cuma segelintir orang kaya saja di kelompok populasi itu, sekitar 54 ribu orang dari jutaan penduduk Indonesia, dengan rata-rata isi kantong simpanan mereka per orang sebesar Rp 98 miliar. Sebuah angka yang sangat timpang.

Selain itu, data Bank Dunia menyebutkan, pertumbuhan ekonomi nasional selama ini hanya memberi manfaat kepada segelintir warga negara saja, khususnya bagi 20% orang paling kaya di Indonesia saja. Tak hanya itu. Tim Nasional Pecepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) juga menyampaikan data yang selaras, hampir separuh aset nasional (50%) hanya dimiliki oleh 1% masyarakat saja. Bahkan pasca covid-19, diperkirakan kesenjangan dan ketimpangan itu makin menganga lebar.

Kondisi ketimpangan, juga tergambar pada angka rasio gini sebesar 0388 pada Maret 2023. Angka ini menunjukkan, ketimpangan makin melebar, baik yang terjadi di desa maupun di kota. Begitu pula, dengan angka kemiskinan dan pengangguran juga belum beranjak membaik.

Berdasarkan data BPS, pada Maret 2023, terdapat sekitar 9,36% atau setara dengan 25,9 juta penduduk miskin di Indonesia. Tetapi jika ditarik sedikit di atas garis kemiskinan atau rentan miskin, maka angka kemiskinan akan melonjak tajam mendekati separuh penduduk.

 

Penutup

Hendaknya para cawapres dalam debat tema ekonomi harus mampu mengidentifikasi masalah yang sedang dihadapi. Kemudian menguraikan permasalahan tersebut menjadi kebijakan ekonomi yang tepat sasaran, dan efektif dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Bukan sekedar hanya menyediakan sarapan pagi dan makan siang gratis bagi para siswa.

Wapres nantinya tidak lagi sekadar menjadi ban serep, tetapi diberikan ruang yang lebih luas dalam melahirkan terobosan kebijakan yang inovatif, kreatif dan solutif, di tengah himpitan persoalan yang terus menggunung. Kita berharap ide dan pemikiran brilian para cawapres bisa terlihat dalam debat kedua ini.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat