visitaaponce.com

Anggaran Tambahan, Pilkada Harus Ketat

Anggaran Tambahan, Pilkada Harus Ketat
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD memberikan paparan dalam webinar bertajuk Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi(MI/AGUS M)

MENTERI Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengingatkan protokol kesehatan harus dilaksanakan dengan ketat dan disiplin saat pelaksanaan Pilkada 2020. Anggaran besar berikut tambahan Rp5 triliun untuk agenda konstitusional ini tidak boleh mendatangkan masalah besar, seperti peningkatan jumlah pasien virus korona.

“Tak kurang Rp5 triliun tambahan dana. Kita sudah carikan dana dan sudah terpenuhi. Ini digunakan membiayai perlengkapan dan persiapan tambahan sebagai penunjang pelaksanaan Pilkada 2020 yang sesuai protokol kesehatan di tengah pandemi covid-19,” kata Mahfud dalam webinar bertajuk Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal yang diselenggarakan MMD Initiative, kemarin.

Pada kesempatan itu hadir peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, dan Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa.

Mahfud mengatakan serangkaian protokol kesehatan telah ditetapkan untuk dilaksanakan saat pilkada, di antaranya, pembatasan jumlah pemilih di TPS. Selain itu, waktu mencoblos akan terjadwal dan tidak serentak pada jam yang sama. Ini bertujuan mencegah terjadinya kerumunan di tempat pemungutan suara (TPS) karena pemilih yang datang serempak.

Selanjutnya, seluruh petugas TPS dilengkapi alat pelindung diri (APD) dan seluruh pemilih akan diberi sarung tangan. “Anggaran tambahan itu berarti pilkada harus sungguh-sungguh,” tegasnya.

Sebagaimana diketahui, Pilkada serentak 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Sebelumnya, pemungutan suara pilkada akan digelar pada 23 September. Namun, akibat pandemi covid-19, pencoblosan diundur hingga 09 Desember 2020.

Tidak berubah

Pilkada langsung sudah berusia 15 tahun sejak pertama digelar tahun 2005. Namun, dampaknya dinilai belum terlihat signifikan.

“Saya tim perumus pilkada langsung, saat itu memiliki asumsi sistem ini bisa berjalan baik dengan semua perangkat menjalankan fungsinya dengan baik, terlahir merit system, birokrasi membaik dan lainnya. Namun, asumsi itu meleset,” kata Siti Zuhro.

Siti menilai pilkada belum menjawab persoalan dan aspirasi masyarakat. Pasalnya, pilkada dimaknai sebagai ajang perebutan kekuasaan, bukan pengabdian. “Selama 15 tahun pilkada tidak membuat kita lega terkhusus masih maraknya pasangan yang menghalalkan segala cara dengan tujuan pokoke menang,” jelasnya.

Masyarakat dan pemerintah, kata dia, tidak boleh patah arang di pilkada kali ini dalam mengupayakan perbaikan mutu, demokrasi konsolidasi dan substantif. Maka, seluruh stakeholder terkait tidak boleh membuat persoalan tambahan dan mengelola pilkada dengan baik.

Kalau pilkada di tengah pandemi masih banyak menyimpan masalah klasik seperti itu, Siti meminta pemerintah mengevaluasi total. (P-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat