visitaaponce.com

Dikritik ICW soal Tuntutan Mati, Ini Jawaban JAM-Pidsus

Dikritik ICW soal Tuntutan Mati, Ini Jawaban JAM-Pidsus
Ilustrasi(Dok. Medcom )

KRITIK Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Kejaksaan Agung ihwal tuntutan pidana mati terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) ditanggapi santai oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejagung Ali Mukartono.

Ditemui pada Rabu (8/12) malam, Ali mengatakan pihak yang berwenang menolak tuntutan tersebut adalah terdakwa saat di ruang sidang, bukan ICW. "Loh yang nolak bukan dia (ICW) lah, yang nolak kan terdakwa di persidangan," ujarnya saat ditemui di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai tuntutan mati bukan merupakan jenis pemidanaan ideal bagi koruptor. Menurutnya, belum ada literatur ilmiah yang bisa membuktikan signifikansi hukuman mati terhadap turunnya angka korupsi di suatu negara.

Adapun jenis pemidanaan yang ideal bagi koruptor, lanjut kurnia, adalah kombinasi antara pemenjaraan badan dan perampasan aset hasil kejahatan. Dengan bahasa lain, pelaku korupsi bagi ICW sudah selayaknya dimiskinkan.

Baca juga: Pakar Nilai Tuntutan Hukuman Mati Terdakwa Asabri Kurang Tepat

Saat disinggung mengenai pendapat ICW, Ali enggan menanggapinya. Ia berpendapat semua pertimbangan dalam menuntut telah dituangkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam surat tuntutan. "Itu sudah jaksa. Jaksa itu suaranya di tuntutan itu kan," pungkas Ali.

Sebelumnya, Kurnia mengaku kaget dengan sikap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam menuntut tinggi terdakwa di perkara megakorupsi di ASABRI maupun skandal PT Asuransi Jiwasraya. Ia menilai hal itu berbanding terbalik dengan tuntutan yang dialamatkan ke oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari.

"Pinangki yang notabene berprofesi sebagai penegak hukum, melakukan banyak kejahatan, dan bekerjasama dengan buronan, malah sangat rendah?" katanya melalui keterangan tertulis, Rabu (8/12).

Diketahui, jaksa menuntut pidana mati karena yakin Heru telah menikmati Rp12,643 triliun dari total kerugian negara sebesar Rp22,788 triliun dari rasuah ASABRI. Dalam perkara Jiwasraya, jaksa menuntutnya pidana seumur hidup. Tuntutan jaksa diamini oleh majelis hakim di pengadilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung.

Jaksa berpendapat Heru telah melakukan pengulangan pidana. Setidaknya, ada dua konstruksi perbuatan Heru yang relevan dimaknai sebagai pengulangan. Pertama, kasus ASABRI dan Jiwasraya yang melibatkan Heru dipandang sebagai suatu niat dengan objek yang berbeda, meskipun periode peristiwanya bersamaan.

Skandal Jiwasraya diketahui mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp16,807 triliun. Rasuah itu terjadi selama periode 2008-2018. Sementara dugaan korupsi dan cuci uang di ASABRI yang merugikan negara Rp22,788 triliun terjadi pada 2012-2019.

Sementara konstruksi kedua adalah kejahatan Heru di kasus ASABRI dilakukan secara berulang dan terus menerus sejak 2012 sampai 2019 tahun. Hal ini diejawantahkan dengan pembelian dan penjualan saham yang mengakibatkan kerugian bagi ASABRI. (P-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat