visitaaponce.com

Merasa Tidak Dilibatkan, Aliansi Masyarakat Adat Uji UU IKN ke MK

Merasa Tidak Dilibatkan, Aliansi Masyarakat Adat Uji UU IKN ke MK
Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi.(MI/Susanto)

UNDANG-Undang No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) kembali dimohonkan untuk diuji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, permohonan diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) diwakili Sekretaris Jenderal Rukka Sombolinggi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan empat perseorangan warga negara yakni Muhammad Busyro Muqoddas, Trisno Raharjo, Yati Dahlia dan Dwi Putri Cahyawati.

Para pemohon mendalilkan proses pembentukan UU IKN belum mengakomodir partisipasi publik terutama masyarakat adat yang tinggal di wilayah pembangunan IKN. Selain itu, menurut Kuasa Hukum Pemohon Tommy Indriadi Agustian menjelaskan, AMAN pada rapat dengar pendapat umum (RDPU) panitia khusus (pansus) pembahasan UU IKN telah menyampaikan ada konflik kepemilikan lahan antara masyarakat adat dan investasi di lokasi IKN yang belum diselesaikan.

"Hak-hak masyarakat adat belum terakomodir dan sosialisasi juga belum disampaikan. (Kami) meminta MK agar undang-undang IKN bisa ditangguhkan," ujarnya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor No.54/PUU-XX/2022 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (25/4). Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto dan anggota Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Manahan MP Sitompul.

Berdasarkan hasil identifikasi masyarakat adat dalam dokumen naskah akademik rancangan undang-undang IKN, ujar kuasa hukum, disebutkan setidaknya terdapat tujuh suku asli di wilayah IKN yang berlokasi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara yakni Suku Paser Balik, Suku Kutai, Suku Bajau, Suku Dayak Basap, Suku Dayak Kenyah, Suku Benuaq, dan Suku Dayak Tunjung. Pemohon III yaitu Yati Dahlia, ujar kuasa hukum, berasal dari suku Balik yang merupakan suku asli di kawasan IKN. Yati bersama 83 kepala keluarga bermukim tidak lebih dari 6 kilometer dari titik 0 lokasi pembangunan IKN.

"Sehingga (pemohon) khawatir akan diusir atau digusur. Warga menolak direlokasi dari tempat tinggal saat ini karena harus memulai kehidupan baru dan berpisah dari keluarganya. Warga di sekitar kawasan IKN terutama suku Balik tidak pernah diajak pemerintah tentang lokasi pemindahan IKN," terang Ikhwan Fahrojih selaku kuasa hukum.

Pada sidang itu, para pemohon juga mendalilkan proses pembuatan UU IKN yang cenderung singkat sehingga mengabaikan partisipasi publik. Ikhwan menjelaskan surat presiden (Surpres) UU IKN diterbitkan pada 29 Desember 2021, kemudian dilanjutkan dengan agenda pendahuluan di DPR. Lalu diteruskan ke rapat paripurna di Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi undang-undang pada 18 Januari 2022.

"Jika dikurangi dengan masa reses pembahasan UU IKN hanya 17 hari," ucap Ikhwan.

Oleh karena alasan-alasan yang telah dijabarkan, para pemohon mengharapkan agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan mereka untuk menangguhkan UU IKN dan menyatakan proses pembentukan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menanggapi itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan, untuk bisa membuktikan dalil-dalilnya bahwa UU IKN dibuat tanpa melibatkan partisipasi masyarakat yang cukup, pemohon harus bisa membuktikan bahwa mereka

orang yang terdampak langsung dari keberadaan UU itu atau perhatian dengan UU tersebut. Dari sana, menurut Saldi, Mahkamah bisa melihat hubungan keterkaitan antara kedudukan hukum pemohon dan pengujian formiil undang-undang IKN. Di samping itu, Mahkamah meminta tambahan bukti untuk menunjukan pada bagian mana dalam proses pembentukan UU, yang mengabaikan partisipasi publik.

"Pemohon harus bisa menjelaskan dalam tahap pengusulan undang-undang, di mana partisipasi publik diabaikan. Bukti itu akan kami sandingkan dengan bukti dari DPR dan pemerintah," tutur Saldi.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Aswanto berpendapat sebaiknya suku asli yang terdampak dengan adanya pembangunan IKN yang mengajukan langsung permohonan ke MK. Ia menjelaskan kedudukan hukum AMAN sebagai organisasi non-pemerintah (NGO) harus benar-benar merepresentasikan suku-suku asli tersebut. "Kenapa tidak suku itu yang mengajukan permohonan apakah NGO dianggap merepresentasikan suku-suku di Indonesia," ucapnya. Pada hari yang sama, Mahkamah juga menggelar sidang uji formiil UU IKN yang dimohonkan oleh Anah Mardianah dengan nomor perkara 53/PUU-XX/2022. (OL-13)

Baca Juga: Kabin: Pertemuan Keunggulan Baru dan Kearifan Lokal Sudah Dimulai di IKN

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat