visitaaponce.com

Memastikan Setiap Ancaman Udara Dapat Diantisipasi

Memastikan Setiap Ancaman Udara Dapat Diantisipasi
Enam pesawat KT-1B Wong Bee melakukan atraksi udara di atas Lapangan Dirgantara AAU, Yogyakarta, Sabtu (9/4/2022)(Dok. Dinas Penerangan TNI-AU)

MANUVER pesawat tempur yang dipiloti Kapten Pnb Herman (Yoshi Sudarso) dan Lettu Pnb Gadhing Baskara (Deva Mahenra) saat mengawal armada angkut Hercules C-130 berisi korban sandera di film Serigala Langit, cukup menegangkan dan sangat keren.

Bahkan, dua aktor yang menerbangkan F-16 Fighting Falcon itu terlihat gagah di belakang kokpit. Pesawat tersebut juga harus meliuk-meliuk dengan kecepatan tinggi untuk menghindari peluru dari enam jet tempur musuh yang terus menguntit.

Pertempuran dan aksi saling kejar di atas Pulau Kabubed, wilayah yang berisi para pemberontak, membuat sejumlah petinggi TNI Angkatan Udara di ruang kendali di Markas Komando Operasi Udara Nasional (Koopsudnas) menahan nafas.

Sementara itu, tampak pula puluhan alat utama sistem senjata (alutsista) berbagai jenis yang berjejer rapi sembari menunggu perintah di Pangkalan Udara (Lanud) Iswahjudi, Madiun.

Tidak ketinggalan, prajurit Korps Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat), yang tadinya bernama Komando Pasukan Khas (Paskhas), juga sudah bersiap dengan perlengkapannya.  

Secara keseluruhan, film drama aksi berdurasi 100 menit yang disutradarai Reka Wijaya dan didukung TNI-AU itu cukup menarik. Film yang tayang pada Agustus 2021 ini menggambarkan bagaimana TNI-AU merespons pelbagai ancaman demi menjaga keamanan ruang udara di negeri ini.

Kesigapan jajaran TNI-AU menjawab ancaman bukan hanya terlihat di layar lebar. Hal itu juga terjadi di dunia nyata. Seperti saat sebuah pesawat sipil asing dengan call sign V0R06 bernomor G-DVOR tipe DA62 terdeteksi melanggar wilayah udara Indonesia oleh Satuan Radar (Satrad) 213 Tanjung Pinang, Jumat (13/5/2022).

Gayung bersambut. Setelah Satrad 213 melaporkan hal tersebut ke komando atas, TNI-AU langsung menyiagakan satu flight F-16 di Lanud Roesmin Nurjadin, Riau, untuk melaksanakan intersepsi terhadap burung besi yang sedang terbang dari Kuching ke Senai, Malaysia.

Namun, intersepsi tidak jadi dilakukan dengan pertimbangan kru pesawat menaati instruksi dan petunjuk Komando Sektor Ibu Kota Negara (Kosek (IKN) yang disampaikan melalui MCC (military civil coordination) Cengkareng agar pesawat itu kembali ke Kuching.   

Selanjutnya, atas pertimbangan keterbatasan bahan bakar dan sekaligus perintah Panglima Koopsudnas, MCC mengarahkan pesawat yang dibawa MJT, WN Inggris, itu mendarat di Lanud Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau.

Bukan kali ini saja TNI-AU tangkas mencegah masuknya pesawat asing yang melanggar wilayah udara. Insiden pada 31 Oktober 2018, misalnya. Kala itu pesawat jenis Airbus A-320 dengan registrasi V8-RBT terlihat memasuki wilayah Kepulauan Riau. Pesawat asing dengan ciri badan berwarna biru-putih bertuliskan Indigo akhirnya berhasil dipukul mundur oleh dua jet canggih Sukhoi Su-27/30.

Realitas tersebut kian memperjelas bahwa upaya menjaga wilayah udara di Tanah Air bukanlah perkara gampang. Kehadiran alutsista juga menjadi faktor penting dalam mendukung dan mengontrol keamanan di ruang tersebut. Apalagi, kasus masuknya pesawat asing kerap terjadi di wilayah perbatasan NKRI.

Guru Besar Ilmu Poltik dan Keamanan Universitas Padjajaran Muradi, menilai dalam konteks Indonesia, jika TNI-AU ingin bisa memastikan posisi postur pertahanan udara, sangat penting untuk difokuskan di wilayah udara di sekitar Singapura.

Saat ini memang sudah terjalin kesepakatan pelayanan ruang udara atau flight information region (FIR) dengan Singapura. Dalam kesepakatan itu, Singapura memegang kendali FIR di sektor C atau di atas Kepulauan Riau dan sekitarnya pada ketinggian 0-37 ribu kaki, sedangkan Indonesia mengelola ketinggian di atas 37 ribu kaki.

"Di dekat Natuna (Kepulauan Riau) itu memang perlu ekstra. Maksudnya adalah kita paling tidak harus bisa setara Singapura dan Malaysia.  Kalaupun tidak bisa lebih tinggi, setidaknya bisa setara dengan dua negara itu. Ini untuk postur pertahanan udara kita di situ," katanya.

Muradi menambahkan, di usia ke-76 TNI-AU, hal tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah yang perlu mendapat perhatian. "Menurut saya, TNI-AU mapun TNI-AL itu bergantung pada alutsista. Jadi yang paling penting itu memastikan alutsista, khususnya AU itu lebih optimal, lebih baik."

Mantan Kepala Staf TNI-AU Marsekal (Purn) Chappy Hakim dalam buku Menegakkan Kedaulatan Negara di Udara: Pelajaran Berharga dari Langit Kepulauan Riau, mengatakan pertahanan suatu negara dapat dianalogikan sebagai pagar rumah seseorang guna mengantisipasi ancaman bahaya yang datang dari luar.

Hal inilah yang kemudian mendorong setiap negara berupaya membangun 'pagar' di wilayah perbatasan sebaik mungkin. Sejarah dunia mencatat bahwa penyebab perang terbesar ialah sengketa perbatasan atau border dispute.

Contohnya, peristiwa 9/11 di Washington dan New York pada 2001, yang diakui Chappy memberikan pelajaran sangat penting dan berharga, yaitu ancaman dapat timbul dari aktivitas yang tidak terduga seperti penerbangan sipil.

Penerbangan sipil pun telah masuk ke dalam kategori potensi ancaman (potential threat). Dari sinilah kemudian banyak negara menata ulang pengaturan lalu lintas penerbangan dengan melebur Civil-Military Air Traffic Flow Management System (CMATFM) dalam wadah yang utuh guna mengorganisasi dan mengoptimalkan pertahanan suatu negara.

"Hal inilah yang menjadikan isu pengaturan penerbangan sipil dan masalah wilayah udara di sekitar Kepulauan Riau dan Natuna yang masih diatur oleh Singapura harus dipandang sebagai sebagai persoalan serius dalam konteks pertahanan negara," terang Chappy.

Saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (18/5), Kepala Dinas Penerangan TNI-AU Marsekal Pertama Indan Gilang Buldansyah, menjelaskan dalam hal menjaga kedaulatan wilayah udara, setiap negara memiliki konsep pertahanan udara yang berbeda, termasuk Indonesia.

Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, di antaranya faktor geografis, ekonomi, politik, budaya dan juga kalkulasi tingkat ancaman yang mungkin rentan terjadinya pada suatu wilayah.

Geografis Indonesia yang juga menjadi jalur perdagangan dunia merupakan salah satu potensi terjadinya pelanggaran wilayah udara di kawasan tersebut, yakni wilayah udara di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Hal ini menjadi pertimbangan TNI-AU dalam meningkatkan keamanan udara di wilayah tersebut, baik ALKI I, II dan III.

"Wilayah tersebut, di antaranya di bagian utara Kalimantan hingga Pulau Natuna, Papua, dan juga Nusa Tenggara Timur. Di Kalimantan akan terus diperkuat, mengingat Ibu Kota Negara (IKN) akan ditempatkan di sana," ujar Indan.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD pernah berpesan kepada KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo untuk terus memperkuat pengamanan wilayah udara di perbatasan.

Di tengah keterbatasan sumber daya yang tidak ideal, imbuh Mahfud, dibutuhkan pengabdian tinggi untuk dapat menjaga kedaulatan di udara. "Harapan saya TNI-AU tetap menjaga daya juang,” kata dia.


Meningkatkan kemampuan
Sebagai bagian integral dari TNI, TNI-AU melaksanakan tugas TNI Matra Udara dan juga menegakkan hukum serta menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Pelaksanaan tugas itu dilaksanakan secara terus-menerus karena ancaman kedaulatan wilayah udara dapat muncul setiap saat. TNI-AU harus mampu memastikan setiap ancaman udara yang muncul dapat terdeteksi dan diantisipasi sedini mungkin.

Marsma Indan Gilang membeberkan TNI-AU terus berupaya meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan tugas tersebut, baik peningkatan alutsista melalui modernisasi, peningkatan SDM, dan juga penyempurnaan organisasi melalui validasi organisasi.

Dalam hal alutsista, TNI-AU memiliki satuan-satuan radar sebagai  alat deteksi dini dan pengendalian intersepsi pesawat tempur sergap dan pesawat penindak low speed low altitude. Satuan radar yang digelar sudah terintegrasi secara otomatis pada sistem Thales/TDAS (data flight plan).

Sementara untuk pesawat, TNI-AU menyelenggarakan operasi pengintaian udara menggunakan pesawat intai dan patroli udara menggunakan pesawat tempur. Operasi ini dilaksanakan secara terjadwal maupun tidak terjadwal.

"Dalam hal SDM, TNI-AU terus berupaya meningkatkan SDM melalui berbagai metode, baik pendidikan dan pelatihan, maupun melalui metode lainnya sehingga SDM yang dimiliki mampu menjawab setiap tantangan tugas yang dihadapi."

Pendapat senada disampaikan Asisten Operasi (Asops) KSAU Marsekal Muda M Khairil Lubis. Ia menegaskan untuk mewujudkan TNI-AU menjadi Angkatan Udara yang disegani di kawasan, dibutuhkan perwira-perwira penerbang yang memiliki kualifikasi sebagai mission commander, yang mampu memimpin suatu misi operasi udara dengan melibatkan berbagai macam platform pesawat pada suatu war theater.

"(Mereka) dilatih merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi misi operasi udara, mengembangkan taktik, teknik dan prosedur dalam skala besar. Selain itu, juga mendapatkan pelatihan bidang kewaspadaan taktis (tactical awarness), dan kemampuan leadership dalam memimpin suatu misi operasi udara yang melibatkan berbagai jenis pesawat."

Dalam beberapa kesempatan, KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo mengemukakan pelanggaran wilayah udara nasional dalam beberapa tahun terakhir masih sering terjadi. Biasanya pelanggaran itu dilakukan oleh maskapai penerbangan sipil maupun pesawat asing.

Abituren Akademi Angkatan Udara (AAU) 1988 ini menuturkan pihaknya pada 2018-2019 sempat melaksanakan pencegatan penerbangan sipil yang melintas tanpa izin di wilayah udara bagian barat Indonesia. Sayangnya, untuk melakukan penindakan belum ada payung hukum dan wewenang yang mengaturnya.

Selain di barat, di wilayah timur juga terdapat ratusan jalur udara yang belum sepenuhnya dikelola pemerintah dan masih aktif dilalui penerbangan perintis, yang kemudian tidak bisa diawasi secara komprehensif.

Oleh karena itu, KSAU mendorong adanya sebuah badan yang bisa mengelola tata ruang udara di Tanah Air, mulai dari level teknis hingga strategis. Dengan demikian diharapkan sinergitas pengelolaan ruang udara nasional dapat terealisasi.

Di lain sisi, KSAU mengakui TNI-AU menghadapi tantangan dan ancaman yang semakin kompleks seiring kemajuan teknologi dan perubahan zaman. Ia sangat mengharapkan TNI-AU bisa bertransformasi dan mampu menyesuaikan diri dalam mewujudkan air power yang sesuai dengan era yang dihadapi.

“Sumber daya manusia (SDM) yang unggul, organisasi yang baik, serta kebijakan yang tepat akan memiliki peran sentral untuk dapat memaksimalkan peran dan mewujudkan tugas-tugas yang diamanahkan kepada TNI Angkatan Udara,” ujarnya.

Dengan dilandasi sikap optimistis disertai komitmen dan upaya yang kuat dari seluruh unsur, KSAU meyakini cita-cita mulia untuk menjadikan TNI-AU yang disegani di kawasan dapat segera terwujud.

Sikap optimistis itu dipegang oleh seluruh prajurit TNI-AU, termasuk Kapten Pnb Herman yang memilih berkorban dengan menjadikan pesawat tempurnya sebagai tameng saat misil musuh mengunci Hercules C-130 di film Serigala Langit. "Saya bangga jadi TNI-AU. NKRI harga mati," pekik Herman. Selamat HUT ke-76 TNI-AU, Swa Bhuwana Paksa! (J-2)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : MEGAPOLITAN

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat