visitaaponce.com

CSIS dan ICW Anggap Seleksi Anggota BPK Langgar Putusan MK

CSIS dan ICW Anggap Seleksi Anggota BPK Langgar Putusan MK
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal(Antara)

PENELITI Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal mengungkapkan,  masih diakomodasinya kader parpol dalam seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Periode 2022-2027 bertentangan dengan putusan Mahlamah Konstitusi. Putusan itu melarang anggota BPK dari anggota partai politik.

Menurutnya prosedur pengisian keanggotaan BPK, dan pembatasannya diatur dalam Pasal 28 Huruf e UU 15 Tahun 2006 tentang BPK (UU 15/2006).

"Kedua pasal tersebut, sejatinya berkaitan dengan isu yang tetap berkembang di dalam ruang publik, yakni; masih adanya dominasi keanggotaan BPK yang berasal dari unsur partai politik," tandasnya.

Nicky mengungkapkan dominasi tersebut tidak terlepas dari mekanisme pemilihan anggota BPK yang dilakukan oleh DPR. Adanya mekanisme tersebut menunjukkan adanya negosiasi ataupun intervensi pengaruh politik tidak dapat dihindari.

Nicky berpegang pada Putusan MK No. 106/PUU-XII/2014 yang secara fundamental memperkuat kedudukan Pasal 28 Huruf E UU 15/2006 yang mengenai larangan anggota BPK menjadi anggota partai politik. Selanjutnya, MK memberikan pedoman penting terkait larangan tersebut yakni hendaknya dalam jangka waktu 6 bulan sebelum mendaftarkan diri yang bersangkutan sudah mengundurkan diri terlebih dahulu dari keanggotaan partai.

"Di sisi yang lain, dalam Putusan tersebut, MK memberikan pesan kunci yang merupakan virtue bagi setiap anggota BPK, yakni setiap anggota BPK wajib memiliki nilai integritas dan imparsialitas. Sehingga, dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan, setiap anggota terbebas dari pengaruh apapun. Dengan kata lain pesan kunci tersebut mengarahkan pada suatu etos kerja dan integritas yang tinggi," tandasnya.

Senada, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menegaskan dalam menjalankan fungsi auditif dan eksaminatif, BPK harus lepas dari kepentingan-kepentingan pribadi dan partai agar punishment dan independensi di depan public tetap terjaga.

Menurutnya, dalam beberapa kasus, BPK sebagai lembaga yang mestinya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tetapi justru tidak serius membenahi instansinya.

“Ada kode etik BPK, tetapi punishment dan penegakannya kurang berjalan baik,” sebutnya.

Egi menegaskan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tidak menjamin lembaga BPK bebas korupsi karena beberapa kasus korupsi kerap terjadi di daerah yang mendapat predikat WTP.

“Jual beli predikat sering condong untuk menjaga gengsi, tetapi sebenarnya institusi yang memiliki visi bersih dari korupsi, belum tentu bersih menjalankan amanatnya," pungkasnya. (OL-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat