visitaaponce.com

MK Putuskan Penundaan Aturan Batas Usia Pensiun Jaksa

MK Putuskan Penundaan Aturan Batas Usia Pensiun Jaksa
Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman bersiap membacakan putusan sidang.(Antara)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan sela atas pengujian Pasal 40A Undang-Undang No.11/2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.16/2004 tentang Kejaksaan RI. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan aturan mengenai batas usia pensiun pada jaksa ditunda.

"Menyatakan menunda berlakunya Pasal 40A Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Tahun 2020 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6755) berlaku sejak putusan ini diucapkan," ujar Ketua MK Anwar Usman, Selasa (11/10).

Pasal 40A UU No.11/2021 mengatur ketentuan batas usia pensiun jaksa dari semula 62 tahun menjadi 60 tahun. Para pemohon berprofesi sebagai jaksa. Mereka adalah Irnensif (Pemohon I), Zulhadi Savitri Noor (Pemohon II), Wilmar Ambarita (Pemohon III), Renny Ariyanny (Pemohon IV), Indrayati Siagian (Pemohon V) dan Fahriani Suyuthi (pemohon VI). 

Baca juga: Menkopolhukam: Pemerintah Buat Mekanisme Sendiri untuk Pemberhentian Hakim MK

Dalam dalil permohonannya, I, II dan III tidak bisa mempersiapkan masa pensiun sebab diberhentikan dengan hormat karena telah mencapai usia 60 tahun pada Maret dan April 2022. Sedangkan terhadap pemohon IV, V, dan VI terancam mengalami hal serupa.

Sebab, pemohon IV akan genap berusia 60 tahun pada 24 November 2022. Pemohon V akan genap berusia 60 tahun pada 24 Oktober 2022 dan pemohon VI akan genap 60 tahun pada 16 April 2024. Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan dengan fakta hukum demikian, menurut MK, potensial akan menimbulkan pelanggaran atas jaminan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Baca juga: Soal Lukas Enembe, Ketua KPK: Gubernur yang Baik Seharusnya Penuhi Panggilan KPK

Serta, jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Lalu, hak konstitusional para Pemohon tersebut terancam tidak dapat dipulihkan kembali. Pemberhentian dengan hormat akan memiliki banyak konsekuensi bagi seorang pegawai negeri sipil, yang mana konsekuensi tersebut secara logis akan menimbulkan kerugian. 

Adapun seandainya permohonan para pemohon dikabulkan dan norma a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, akan sulit memulihkan hak para pemohon yang telah hilang. Oleh karena itu, putusan sela diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum pada para pemohon.

Serta, mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia saat suatu norma hukum diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan. "Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional para Pemohon," jelas Suhartoyo.(OL-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat