visitaaponce.com

Peningkatan Harta Kekayaan Tidak Sah Didesak Masuk dalam Delik Pemidanaan

Peningkatan Harta Kekayaan Tidak Sah Didesak Masuk dalam Delik Pemidanaan
Suasana Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta(MI/Adam Dwi)

Sejumlah penyelenggara negara belakangan ini mendapat sorotan karena diduga memiliki harta yang nilainya tidak wajar. Hal itu bermula dari viralnya unggahan flexing harta kekayaan oleh keluarga para penyelenggara negara antara lain Pegawai Pajak Kementerian Keuangan RI Rafael Alun Trisambodo, mantan pegawai Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, dan Kepala Bea Cukai Andhi Pramono.

Para penyelenggara negara tersebut kemudian diperiksa Kementerian Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ditelisik asal-usul harta kekayaannya yang dinilai tidak wajar apabila disandingkan dengan pendapatan resmi aparatur sipil negara (ASN), serta Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disetor ke KPK.

Masyarakat sipil mendesak Presiden Joko Widodo membentuk ketentuan pemidanaan delik Illicit Enrichment (peningkatan kekayaan pejabat publik secara tidak sah) sesuai dengan rekomendasi Pasal 20 Konvensi Anti-Korupsi (UNCAC).

Baca juga: KPK Didorong Telusuri Kekayaan Meroket Pegawai Ditjen Pajak

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menjelaskan hal itu bisa dilakukan melalui Revisi Undang-Undang No.19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun ketentuan perundang-undangan teknis lainnya.

Selain itu menurutnya dibutuhkan perubahan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tujuannya untuk mengkriminalisasi penyelenggara negara wajib lapor yang tidak melaporkan harta kekayaannya. Ia juga menyampaikan peningkatan kekayaan pejabat publik secara tidak sah belum dimasukkan sebagai tindak pidana kriminalisasi) di Indonesia.

Baca juga: Lebih dari 70 Ribu Penyelenggara Negara Belum Lapor LHKPN, KPK Diminta Gencar Sosialisasi

"Ketika jumlah kekayaan yang dilaporkan tidak sesuai dengan profil penyelenggara negara, maka tidak bisa dilakukan pemidanaan sebelum diketahui pidana asalnya," ujar Julius melalui keterangan tertulis, Sabtu (25/3).

Dengan kata lain, ketika LHKPN sudah menunjukkan adanya peningkatan kekayaan yang tidak sah, sambung Julius, pejabat yang bersangkutan tetap tidak dapat dipidana. Kondisi itu menurutnya menunjukkan bahwa LHKPN sejatinya tidak memiliki kekuatan apapun dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi.

Julius menyebut bahwa penyelenggara negara diberikan kebebasan untuk memilih sendiri antara nilai perolehan atau nilai valuasi saat ini ketika melaporkan nilai hartanya. Mekanisme itu, ujarnya, diperburuk dengan ketiadaan verifikasi administrasi dan faktual dari LHKPN yang disetorkan.

"Hanya sebatas catatan belaka, oleh sebab itu, sanksi atas pelanggaran terhadap LHKPN sebatas sanksi administratif saja," terang Julius.

Akibatnya, tegas dia, tidak ada pengawasan korupsi oleh penyelenggara negara melalui perolehan harta kekayaan.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat