visitaaponce.com

Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Materi UU Kepailitan

Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Materi UU Kepailitan
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta.(Antara/Muhammad Adimaja)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan).

Putusan perkara Nomor 11/PUU-XXI/2023 tersebut dibacakan pada Kamis (30/3).

Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan hukum menyebutkan, setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan Pemohon, khususnya pada bagian hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum) didapati ketidakjelasan.

Baca juga : Emiten Kreditur KSP Indosurya Harap Asset Settlement Berjalan Lancar

Padahal, lanjut Suhartoyo, Mahkamah pada 8 Februari 2023 telah memberikan catatan nasihat untuk perbaikan petitum sebagaimana format yang berlaku di Mahkamah.

Seluruh rumusan petitum tersebut tidak lazim. Secara formal, petitum demikian bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf d Peraturan Makamah Konstitusi nomor 2 tahun 2021.

Baca juga : Globalisasi dan Hukum Kepailitan di Indonesia

"Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur,” ucap Suhartoyo dalam persidangan.

Adapun petitum yang dianggap tidak lazim yakni, pada petitum angka 2 pemohon yang tertulis “menyatakan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) konstitusional sepanjang diubah dengan frasa kalimat: dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, dan Pasal 59 ketentuan ini tidak berlaku bagi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55”.

Petitum angka 3 “Menyatakan Pasal 55 ayat (1) kontitusional sepanjang diubah dengan frasa kalimat: dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 dan Pasal 59, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”

Kreditor separatis

Dalam perkara ini para pemohon yang terdiri dari Umar Husin, Zentoni, Sahat Tambunan, dan Paulus Djawa yang berprofesi sebagai kurator menyebutkan, keberadaan Pasal 31 ayat 1 UU Kepailitan menimbulkan ketidakpastian hukum karena para kurator harus selalu berhadapan dengan perdebatan hukum dengan para kreditor yang berstatus 'Kreditor Separatis' yang debiturnya diputus pailit.

Pasalnya, kreditor separatis akan menolak tunduk terhadap Pasal 31 ayat 1 UU Kepailitan dan hal ini berdampak pada hilang atau setidak-tidaknya berkurangnya kewenangan para Pemohon untuk mengambil alih dan menjual aset debitur yang telah diputus pailit.

Padahal, kewenangan yang dimiliki para Pemohon merupakan kewenangan atributif yang diberikan undang-undang.

Terhadap keadaan pailit terdapat pemberlakuan bersifat khusus dan istimewa bagi Kreditor Separatis yang juga dapat mengeksekusi persoalan kepailitan sebagaimana diatur Pasal 55 UU Kepailitan. Namun ia tidak dapat secara serta-merta dapat mengeksekusi haknya begitu saja, tetapi harus melalui sebuah rangkaian proses eksekusi yang tidak terputus sebagaimana diatur Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 UU Kepailitan.

Untuk itu, para Pemohon memohon pada Mahkamah untuk menyatakan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan tidak sah secara hukum dan dinyatakan dihapus karena telah membuat ketidakjelasan norma yang terkanding pada Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan, sehingga merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon karena telah menyebabkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum serta bertentangan dnegan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. (Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat