visitaaponce.com

Sekum Muhammadiyah Paparkan 5 Modal Indonesia Jadi Pusat Peradaban Islam

Sekum Muhammadiyah Paparkan 5 Modal Indonesia Jadi Pusat Peradaban Islam
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti(Youtube @BKN PDI Perjuangan)

Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai Indonesia memiliki modal besar untuk menjadi pusat peradaban Islam masa depan.

Pertama, modal demografis mengingat Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Kedua, modal sosial, dengan corak umat Islam Indonesia yang toleran dan terbuka.

Baca juga: Muhammadiyah Ingin Lebih Banyak Nama Capres-Cawapres Pemilu 2024 Dimunculkan

Ketiga, modal ekonomi karena Indonesia memiliki karunia kekayaan alam yang melimpah. Keempat, modal politik dengan penerapan sistem demokrasi yang stabil berlandaskan Pancasila.

Baca juga: Pengertian dan Makna Wawasan Kebangsaan bagi Bangsa Indonesia

Dan kelima, posisi geopolitik Indonesia yang bebas aktif dan membuat Indonesia tidak terlibat permusuhan secara langsung dengan negara lain.

Baca juga: Guru Besar Ilmu Politik Ingatkan Elite Jangan Buka Kotak Pandora Kekuasaan

Selain menjadi peradaban Islam, Abdul Mu'ti menilai, Indonesia yang merupakan negara majemuk juga terbukti mampu menjalani demokrasi tanpa tercerai berai.

Padahal, lanjut dia, banyak pihak yang sempat mengira Indonesia akan terpecah setelah menjalani demokrasi seperti Uni Soviet, Yugoslavia, dan beberapa negara Arab.

“Selama kita menempatkan Indonesia sebagai rumah kita bersama dan menempatkan kebinekaan sebagai kekayaan, politik Identitas tidak akan dapat mengoyak negara kita,” kata dia dalam siniar Bung Karno Series bersama Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti yang tayang di akun Youtube BKN PDI Perjuangan, Minggu (25/6/2023).

Baca juga: Ideologi Pancasila dan Islam Miliki Hubungan Kelekatan

Politik identitas

Terkait politik identitas, Abdul Mu'ti menjelaskan, tantangan dalam mengelola kemajemukan adalah menjaga agar sentimen primordial menjadi faktor disintegrasi. Dan sentimen primordial bisa berlatar belakang agama. suku, etnis, kedaerahan, dan ekonomi.

Sebab, lanjutnya, ada kelompok yang sangat primordial karena merasa secara ekonomi sangat kuat sehingga tidak mau bergaul. "Kaum elit tidak mau gumbul sama orang alit (kecil). Presiden pertama Indonesia Bung Karno justru memberi contoh sebagai orang elite tapi sangat pro sama kelompok alit atau sekarang disebut wong cilik," kata dia.

Baca juga: Pembeda Kopiah BK dari Peci: Hadiah untuk Soekarno dari Sumatra Barat

Akan tetapi, menurut dia, Indonesia justru relatif lebih mampu mengatasi sentimen rasial ketimbang negara lain. Di Amerika Serikat (AS) dan negara di Eropa, lanjut dia, juga masih terjadi praktik sentimen rasial berbasis etnis.

"Yang masih menjadi tantangan beberapa primordialisme berbasis kedaerahan dan yang primordial dijustifikasi pemahaman keagamaan yang sempit," kata dia.

Baca juga: Yudi Latif Ingatkan Pentingnya Pembangunan Karakter Bangsa

Sehingga, dia mengingatkan agar politisi dan semua pihak tidak menyalahartikan, menyalahgunakan, bahkan merusak dalil agama demi kepentingan politik kekuasaan.

"Saya sering istilahkan, misuse dan abuse. Misalnya, pilih partai a insyaallah masuk surga atau jangan pilih partai b karena partai kafir. Itu harus kita jauhkan karena tidak menunjukkan pemahaman agama yang benar dan bentuk penyalahgunaan agama untuk kepentingan kekuasaan belaka," kata Mu'ti.

Dia mengakui, sebagian umat Islam sangat konservatif dalam beragama, kaku, tertutup, dan anti terhadap kemajuan dalam memandang agama.

Makanya, sambung dia, Bung Karno juga sempat menyampaikan kritik dengan masih adanya umat di negeri ini, di era modern, yang masih hidup dengan cara 1.000 tahun lalu.

“Islam tentu harus berkemajuan dalam cara, yang kita ambil dari semangat masa lalu itu kan etos dalam berjihad, etos dalam mempertahankan keyakinan, dan tetap berpegang teguh pada ajaran agama, bukan abunya,” terangnya.

Bung Karno dan Muhammadiyah

Abdul Mu'ti menjelaskan, Bung Karno dan Muhammadiyah faktanya memiliki nafas perjuangan yang sejalan dalam membangun Indonesia. Kesamaan tersebut pada akhirnya diyakini akan menjadikan Indonesia sebagai episentrum peradaban Islam dunia di masa mendatang.

“Waktu Bung Karno di Surabaya, beliau sering mengikuti pengajian yang diadakan oleh KH Ahmad Dahlan, yang ceramah-ceramahnya itu sangat mencerahkan dan memberikan perspektif bagaimana berislam dan beragama yang berkemajuan,” ujar pria yang sempat menjadi Ketua PP Pemuda Muhammadiyah tersebut.

Baca juga: Dari Soekarno hingga Jokowi, Ini Biodata Lengkap Presiden Indonesia dan Wakilnya

Abdul Mu’ti menambahkan, Bung Karno yang berpandangan progresif dan juga memiliki minat yang tinggi dalam memperdalam agama menjadikan ceramah KH Ahmad Dahlan tidak hanya untuk memperkuat keyakinannya terhadap Islam, akan tetapi juga memberikan inspirasi bagaimana agama dapat menjadi sumber ajaran dan motivasi agar umat Islam turut dapat meraih keunggulan dan kejayaannya.

“Bung Karno sejatinya jatuh cinta dengan Muhammadiyah saat KH Ahmad Dahlan sering mengadakan pengajian di kediaman teman dekatnya yakni HOS Cokroaminoto, yang juga menjadi tempat indekos Bung Karno saat itu. Meskipun secara resmi beliau baru menjadi pengurus dan struktural Muhamadiyah saat menjalani pengasingan di Bengkulu,” ungkap cendekiawan Muhammadiyah tersebut.

Abdul Mu'ti menuturkan, setidaknya ada tiga pondasi penting bagaimana pikiran Bung Karno dapat sejalan dengan Islam progresif dan berkemajuan Muhammadiyah.

Pertama, pemahaman ajaran agama yang terbuka. Kedua, sikap positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, egalitarianisme antara manusia dan kemanusiaan.

“Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang terbuka. Pertemuan di Muhammadiyah itu tidak hanya melibatkan laki-laki dan perempuan, dalam berbagai kegiatan melibatkan lintas suku, dan bahkan lintas agama. Hal ini juga menjadi salah satu alasan kenapa Bung Karno merasa Muhammadiyah itu seperti rumah, karena senafas dan sejalan dengan kepribadian Bung Karno,” kata Abdul Mu’ti.

Ia menyampaikan, Muhammadiyah sebagai organisasi tidak antikritik. Bahkan Bung Karno turut mendorong Muhammadiyah menjadi lebih terbuka dalam berbagai hal.

“Setidaknya ada tiga faktor kunci yang membuat Bung Karno sangat dekat dengan Muhammadiyah, pertama yakni kesamaan pandangan agamanya dengan Muhammadiyah. Kedua, kedekatan personal dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Ketiga, kedekatan secara kultur egaliter, keterbukaan dan semangat untuk senantiasa ingin maju,” jelasnya. (X-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Henri Siagian

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat