visitaaponce.com

Bawaslu DKI Jakarta Paling Rawan Politisasi SARA

Bawaslu: DKI Jakarta Paling Rawan Politisasi SARA
Spanduk penolakan politisasi SARA di Jakarta(MI/Bary Fatahillah)

BADAN Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menempatkan DKI Jakarta sebagai provinsi paling rawan terjadinya politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam pemilu. Provokasi SARA melalui media sosial dan media daring menjadi yang paling banyak terjadi.

Hal itu diungkap Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu RI Lolly Suhenty dalam acara Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 Isu Strategis: Politisasi SARA yang digelar di Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (10/10).

Lolly mengungkap, DKI Jakarta menempati urutan pertama sebagai provinsi yang paling rawan terjadi politisasi SARA dengan skor 100. Adapun peringkat kedua diduduki Maluku Utara (77,16). Sementara peringkat ketiga sampai keenam ditempati DI Yogyakarta (14,81), Papua Barat (14,81), Jawa Barat (12,35), dan Kalimantan Barat (7,4).

Baca juga : Jika Didampingi Yenny, Ganjar Dapat Kalahkan Prabowo

Jika diurutkan berdasarkan kabupaten/kota, Kabupaten Intan Jaya menempati posisi teratas yang paling rawan politisasi SARA (100). Kabupaten Jayawijaya, Kaputaen Pandeglang, dan Kabupaten Puncak menyusul di bawahnya dengan skor yang sama, yakni 91,95. Urutan berikutnya diisi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (61,58) dan Kota Jakarta Pusat (38,37).

Namun, saat diranking berdasarkan agregasi kabupaten/kota, Papua Tengah menjadi provinsi paling rawan isu politisasi SARA dengan skor 41,02. Urutan di bawahnya adalah DKI Jakarta (20,82), Banten (11,64), DIY (2,77), Papua Pegunungan (2,74), dan Maluku Utara (2,23).

Baca juga : KPU Segera Undang Parpol Jelang Pendaftaran Capres-Cawapres

"Dalam konteks ini, waspadalah untuk provinsi yang dipetakan peristiwanya banyak terjadi di kabupaten/kota. Lakukan upaya pencegahan terbaik supaya ini tidak terjadi di 2024," kata Lolly.

Lolly mengungkap isu sara yang tergambar dari hasil pemetaan kerawanan yang dilakukan pihaknya adalah kampanye bermuatan SARA di media sosial yang. Di tingkat provinsi, kampanye bermuatan SARA berdasarkan agama mencapai 86%. Adapun penolakan calon peserta pemilu berbasis etnik sebesar 75%.

"Kedua isu ini memang sangat mudah diprovokasi karena etnis dan agama merupakan bagian dari identitas kolektif yang mampu menggerakkan suatu kelompok untuk berhadapan dengan kelompok lain," tandas Lolly. (Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat