visitaaponce.com

Ini Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi sertaDasar Hukumnya

Ini Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi serta Dasar Hukumnya
Ilustrasi--Sidang di Mahkamah Konstitusi(ANTARA/Hafidz Mubarak A)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan yang menduduki peran sentral sebagai salah satu cabang kekuasaan yudikatif di dalam struktur negara Republik Indonesia. Fungsinya melibatkan pengadilan atas perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya, sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945

Lebih dari sekadar sebuah badan pengadilan, Mahkamah Konstitusi juga merupakan salah satu pilar utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang bertugas menjalankan kekuasaan kehakiman secara independen. Tugasnya melibatkan penyelenggaraan pengadilan dengan tujuan utama menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan di tengah masyarakat.

Mahkamah Konstitusi diisi oleh sembilan hakim, yang mekanisme pengangkatan mereka menunjukkan proses yang cermat dan demokratis. 

Baca juga: MK Dirasa Perlu Keluarkan Aturan Khusus Bagi Anwar Usman

Tiga hakim diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tiga lainnya diajukan oleh Presiden, dan sisa tiga hakim ditetapkan oleh Mahkamah Agung (MA) berdasarkan penetapan presiden. 

Mekanisme ini memberikan representasi yang seimbang dari berbagai kekuatan dan lembaga dalam struktur negara, menegaskan independensi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tinggi.

Selain menjalankan fungsi yudisialnya, Mahkamah Konstitusi juga menjadi penjaga konstitusi dan penafsir utama terhadap ketentuan-ketentuan UUD 1945. Tugas ini mencakup memastikan bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang diuji ke konstitusionalitasnya sesuai dengan norma-norma dasar negara. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa hukum di negara ini senantiasa sejalan dengan prinsip-prinsip dasar yang diamanahkan oleh konstitusi.

Baca juga: Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres Dinilai Jauh dari Norma Hukum

Penting untuk dicatat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai lembaga yang bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi memberikan landasan hukum yang kuat dan mengikat bagi semua pihak, termasuk pemerintah, dalam menegakkan keadilan dan hukum.

Pada awalnya, konsep wewenang Mahkamah Konstitusi secara teoritis diperkenalkan oleh ahli hukum Austria, Hans Kelsen, pada 1919. 

Melalui karyanya yang terkenal, "Teori Umum Tentang Hukum dan Negara," Kelsen mengungkapkan bahwa untuk menjalankan aturan konstitusional terkait legislasi secara efektif, diperlukan suatu lembaga yang tidak tergantung pada badan legislatif. Lembaga ini harus memiliki tanggung jawab untuk menguji apakah produk hukum yang dihasilkan sesuai atau bertentangan dengan konstitusi. Dalam kasus ketidaksesuaian, lembaga tersebut memiliki hak untuk tidak melaksanakan produk legislatif tersebut.

Kelsen menekankan perlunya adanya lembaga pengadilan khusus yang dikenal sebagai "pengadilan konstitusi" atau pengawasan "kekonstitusionalan," yang melibatkan proses judicial review. 

Proses ini dapat diberikan kepada pengadilan konstitusi maupun pengadilan biasa, yang kemudian akan memiliki wewenang untuk menguji dan menilai kesesuaian undang-undang dengan konstitusi.

Dalam konteks ini, Kelsen juga menggarisbawahi bahwa konstitusi harus menjadi seperangkat norma hukum yang mendominasi undang-undang biasa dan harus dijalankan dengan tegas. 

Dia mencatat adanya ketidakpercayaan yang umum terhadap badan peradilan biasa dalam menjalankan tugas penegakan konstitusi. Oleh karena itu, Kelsen mengusulkan pembentukan mahkamah konstitusi yang terpisah dari peradilan biasa, memiliki tugas khusus untuk mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika bertentangan dengan undang-undang dasar.

Mengenai sejarah penyusunan UUD 1945, ide pengujian undang-undang yang diutarakan oleh Kelsen juga pernah diungkapkan tokoh hukum Indonesia, Muhammad Yamin. 

Saat sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Yamin mengusulkan adanya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) yang memiliki kewenangan untuk membandingkan undang-undang atau melakukan judicial review.

Tetapi, usulan Yamin mendapatkan penolakan dari Soepomo dengan alasan-alasan tertentu. Soepomo menegaskan UUD 1945 menganut konsep pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan. 

Dia juga menyatakan tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang. Lebih lanjut, kewenangan hakim untuk menguji undang-undang dianggap bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga ide pengujian undang-undang oleh Yamin tidak diakomodasi dalam UUD 1945.

Dalam perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia, kebutuhan akan judicial review semakin dirasakan. Kebutuhan ini baru dapat terpenuhi setelah Reformasi, yang menghasilkan perubahan UUD 1945 dalam empat tahap.

Pada tahap ketiga atau perubahan ketiga UUD 1945, ketentuan mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi diatur secara lebih rinci. Kemudian, untuk merinci dan melanjutkan amanat konstitusi tersebut, pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. 

Setelah melalui serangkaian pembahasan, undang-undang tersebut resmi disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Tanggal tersebut juga menandai penandatanganan UU Mahkamah Konstitusi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan publikasi resminya dalam Lembaran Negara.

Tugas dan Wewenang  

Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, disebutkan tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi antara lain:  

  1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.  
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.  
  3. Memutus pembubaran partai politik.  
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (pemilu).  

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. 

Pelanggaran dimaksud sebagaimana disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negar, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi 

Dasar hukum MK dijabarkan dalam tiga pasal Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan lainnya, termasuk Mahkamah Konstitusi. 

Sementara Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 merinci sejumlah wewenang MK yang mencakup pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, dan penanganan perselisihan hasil pemilihan umum.

MK juga memiliki tanggung jawab khusus, yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai dengan Pasal 7B UUD 1945. Fungsi ini dijelaskan dalam ketentuan hukum sebagai upaya MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR terkait pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.

Pasal 24C UUD 1945 turut mengatur berbagai aspek lain terkait MK, mulai dari jumlah anggota Hakim Konstitusi yang terdiri dari sembilan orang, mekanisme pengangkatan, hingga persyaratan hakim konstitusi yang mencakup integritas, keadilan, dan pemahaman yang mendalam terhadap konstitusi dan ketatanegaraan.

Pada tahap awal pembentukannya, Mahkamah Agung sementara waktu bertindak sebagai pelaksana tugas MK, sesuai dengan Pasal III dalam Perubahan Keempat UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa MK akan dibentuk paling lambat pada 17 Agustus 2003, dan hingga saat itu, Mahkamah Agung memegang peran sementara sebagai pelaksana tugas MK.

Regulasi lebih lanjut mengenai MK kemudian diatur melalui undang-undang, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 UU Mahkamah Konstitusi No. 24/2003 dan Pasal 4 UU Mahkamah Konstitusi No. 7/2020. Melalui undang-undang tersebut, MK ditempatkan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berperan penting dalam menyelenggarakan peradilan, menegakkan hukum, dan memastikan keadilan di Indonesia. 

Sebagai suatu entitas hukum yang merdeka, MK berperan tidak hanya sebagai penafsir dan penegak UUD 1945, melainkan juga sebagai penjaga integritas dan nilai-nilai konstitusional yang menjadi pondasi negara. Keputusan-keputusan MK membentuk dasar hukum yang kuat dan mengikat bagi semua pihak, termasuk pemerintah, dalam menjalankan kewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat