Boleh Kritik Presiden bukan Berarti Demokrasi Baik-baik Saja
Presiden Joko Widodo menampik adanya kemunduran demokrasi. Pernyataan tersebut ia sampaikan sebagai respons Debat Pilpres perdana, 12 Desember lalu. Saat itu, salah satu pasangan calon menyebut adanya kemunduran demokrasi pada masa pemerintahan Jokowi.
“Kami kan tidak pernah melakukan pembatasan-pembatasan apapun. Ada yang maki-maki presiden, ada yang caci maki presiden, ada yang merendahkan presiden, ada yang menjelekkan juga saya biasa-biasa saja,” ujar Jokowi.
Jokowi juga menegaskan pemerintahannya tidak pernah melarang demonstrasi, “Di Patung Kuda (Jakarta), di depan Istana juga demo, juga hampir setiap minggu, setiap hari juga ada, juga nggak ada masalah,” kata Jokowi.
Baca juga: Pernyataan Jokowi soal Kebebasan Berpendapat Salah Besar
Direktur Public Virtue Research Institute, Yansen Dinata pertanyaan Jokowi tersebut mengandung bias.
Kemunduran demokrasi tidak hanya diukur dari fenomena presiden dan istanasentris. Kemunduran demokrasi juga bisa dilihat dari banyaknya kebijakan yang merugikan masyarakat. Itulah yang menurutnya terjadi selama lima tahun periode kedua pemerintahan Jokowi, seperti pelemahan KPK, pelanggaran etik Mahkamah Konstitusi, dan lain sebagainya.
Baca juga: Indonesia Menuju Negara Otoritarianisme
“Kemunduran demokrasi bukan semata soal dipenjara atau tidaknya demonstran atau penghina presiden, tetapi kemunduran demokrasi juga mencakup hal-hal yang lebih substansial terutama menyangkut integritas institusi negara, ketidak-berpihakan lembaga hukum, kebebasan digital dan netralitas keluarga presiden,” kata Yansen, Minggu (17/12).
Sementara itu, Program Manager Public Virtue Research Institute, Stanislaus Axel Paskalis, melihat bahwa Presiden harus memaknai kemunduran demokrasi dari sudut pandang kedaerahan, digital, dan kebijakan.
“Tidak menutup kemungkinan, keputusan pusat menyebabkan terjadinya brutalitas aparat di daerah tempat penolakan proyek nasional. Dengan kata lain, ada efek domino. Dan efek domino menciptakan ilusi tanggung jawab. Yang di bawah merasa hanya menjalankan perintah, sedangkan yang di atas merasa tidak punya kontrol lapangan,” tegas Axel.
Jika kemunduran demokrasi hanya diukur dari pusat, kata Axel. maka negara beresiko membuka peluang terjadinya kemunduran demokrasi yang dilakukan oleh aktor tengah dan aktor pinggiran yang menjadi perpanjangaan kekuasaan.
Padahal, riwayat pelanggaran demokrasi di Indonesia hampir sebagian besar dilakukan oleh aktor tingkat atas, tetapi lewat perpanjangan-perpanjangan bayangan yang sulit diidentifikasi batang hidungnya. (Z-11)
Terkini Lainnya
Calon Kepala Daerah Butuh Kematangan Jiwa Raga
HUT Bhayangkara, Presiden Minta Polri Sukseskan Pilkada dan Jaga Netralitas
Gelar Kongres, NasDem Usung Sinergi Membangun Bangsa
Jokowi Diminta Berhenti Cawe-Cawe dan Melakukan Nepotisme di Pilkada
Jelang Pilkada, Rakyat Diminta Sadar dari Hipnotis Politik Populisme ‘ala Jokowi’
Kekeliruan Pemahaman Demokrasi Post-Secular dan Agenda Kesetaraan melalui Konsesi Tambang
Timnas Anies-Muhaimin Nilai Panas Debat Wajar Asal tak Berlarut
Prabowo yang Emosional Menguntungkan Lawan
KPU Pastikan tak Akan Ubah Format Debat Meski Presiden Minta Evaluasi
Wapres: Debat Capres Cawapres Saat Ini Lebih Hidup
Jokowi : Evaluasi soal Debat Ditujukan untuk Ketiga Capres
Analis Sebut Keterbukaan Data Pertahanan Bukan Hal Tabu
Pemilu Iran: Pertarungan Dua Kubu Politik yang Sangat Berjarak
Spirit Dedikatif Petugas Haji
Arti Penting Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap