visitaaponce.com

Jokowi Dinilai Ciptakan Imunitas bagi Pelaku Pelanggar HAM

Jokowi Dinilai Ciptakan Imunitas bagi Pelaku Pelanggar HAM
Infografis(MI )

KEBIJAKAN penyelesaian kasus HAM secara non yudisial membuka lembaran untuk menghadirkan fenomena imunitas atau ketiadaan hukuman setimpal untuk terduga pelaku yang belum diminta pertanggungjawaban hukumnya dalam beberapa kasus HAM di masa lalu.

Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra, Kamis (28/12) mengungkapkan situasi ini menghasilkan fenomena yang terjadi sekarang terhadap terduga pelanggaran HAM berat yang justru mempunyai kekuatan dan hak secara konstitutif dan legal untuk menjalankan diri sebagai presiden.

"Terduga pelanggaran HAM punya hak konstitutif menjadi calon legislatif, terduga punya hak yang legal untuk masuk menjadi komisaris dan penjabat publik di negara ini, yang harusnya dihindari atau bisa dicegah dalam satu siklus negara," terangnya.

Baca juga: Pemilu Momentum Penting Merebut Demokrasi

Negara demokrasi harus menjunjung tinggi martabat, HAM dan kepatuhan terhadap supremasi hukum. Namun dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo Kontras melihat pada 2023 atau setidaknya 10 tahun terakhir pemerintahan Jokowi memberikan akses menghadirkan untuk melakukan imunitas masih terjadi. Sehingga akses politik bagi para pelaku terduga pelanggaran masih terbuka lebar. 

Ini menjadi bentuk kontradiksi dengan penilaian dunia bahwa Indonesia yang menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai HAM yang tercermin dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Situasi yang dilakukan Jokowi berkebalikan dengan memasukan pihak dengan rekam jejak buruk terhadap HAM ke dalam kebijakan publik.

Baca juga: Persoalan HAM tidak Beres di Era Jokowi, Semua Capres Diminta Beri Solusi

"Dimasukkan dalam skema kebijakan politik bahkan kebijakan tata negara di Indonesia yang ini justru menghadirkan upaya untuk membangkang untuk kemudian menurunkan penghormatan kita terhadap sistem HAM atau nilai hukum yang bermartabat. Ketika suatu negara abai terhadap penyelesaian HAM di masa lalu berarti negara itu tidak bersungguh-sungguh dalam memasukkan atau menghormati nilai HAM yang harusnya menjadi pedoman dasar untuk bisa beralih dari negara otoriter menjadi negara yang bermartabat dan menjunjung demokrasi substansial dan nilai dasar HAM," paparnya.

Dalam diskusi Catatan Akhir Tahun Demokrasi, Hukum dan HAM anjloknya demokrasi di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sangat dirasakan dalam aspek kebebasan berbicara masyarakat sipil. Berdasarkan catatan lembaga survei Freedom House dalam 9 tahun terakhir situasi demokrasi Indonesia menurun drastis mulai dari 2000-2017 indeks demokrasi di angka 63 lalu di 2023 indeks demokrasi ada di angka 58 dari 100 dengan komponen paling utama dan paling rendah yakni kebebasan sipil.

"Artinya ada fenomena yang berkontribusi dalam membuat indeks atau komponen sipil itu turun drastis. Pertama ada fenomena pengekangan dan pembungkaman suara atau aktivitas suara mahasiswa di kampus seperti aktivitas diskusi selalu melakukan acara yang sifatnya edukatif nonton film atau pembahasan lainnya," ungkapnya.

Dalam 9 tahun terakhir Kontras menemukan ada beberapa upaya pembekuan terhadap Badan Eksekutif Mahasiswa seperti yang terjadi di Universitas Udayana Bali. Pembekuan ini dilakukan oleh pihak rektorat yang seharusnya tidak boleh terjadi. Kemudian kejadian serupa juga dilakukan di UIN Sunan Kalijaga.

Dalam kesempatan itu Dimas juga mengkritisi tentang situasi Papua yang oleh salah satu pasangan calon presiden mengatakan bahwa isu Papua terjadi karena masih ada intervensi asing dan juga masih adanya tindakan terorisme dari kelompok separatis.

"Ini narasi berkebalikan yang justru kekerasan terjadi di Papua dilakukan oleh negara itu sendiri. Kemarin kami juga menganalisis dan memonitor dalam kurun waktu 2019-2023 ada operasi besar yang dilakukan di Papua yang sifatnya rutin atau rotasi tentara atau situasi yang tidak umum untuk melakukan pengamanan dalam menjaga objek vital nasional," tegasnya.

Akar masalah di Papua menurutnya ada tiga, pertama adalah akar historis kedua akar rasialis lalu akar ketimpangan. Ketiga faktor ini tidak pernah berhasil dijawab oleh siapapun presidennya semenjak kita melakukan reformasi 1998. (Sru/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat