visitaaponce.com

2023 Tahun Penuh Ketidakpastian Hukum Pemilu

2023 Tahun Penuh Ketidakpastian Hukum Pemilu
Ilustrasi hukum(Freepik)

PAKAR hukum tata negara (HTN) Titi Anggraini mengatakan bahwa tahun 2023 merupakan tahun yang penuh ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan pemilu. Mulai dari kontroversi Putusan MK soal usia capres di pilpres yang menggambarkan inkonsistensi MK dalam memutus konstitusionalitas syarat usia, sampai dengan KPU sebagai regulator pemilu yang membuat aturan yang bertentangan dengan UU Pemilu dan Putusan MK. Khususnya soal pencalonan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% dan masa jeda pencalonan bagi mantan terpidana korupsi.

"Selain itu, 2023 masih menyisakan persoalan integritas dan kapasitas penyelenggara pemilu. Mulai dari karut marut verifikasi partai politik yang melibatkan sikap tidak profesional dan partisan KPU dalam verifikasi partai yang dianggap menguntungkan sejumlah partai tertentu, lalu juga persiapan pemilu di luar negeri yang diwarnai penyimpangan teknis," ujarnya kepada Media Indonesia, Minggu (31/12).

Putusan MK soal usia calon di pilpres merupakan indikasi terbuka bahwa telah terjadi politisasi terhadap pengadilan. MK menjadi sasaran untuk memuluskan kepentingan politik pragmatis. Akibatnya, publik dipertontonkan pada praktik politik yang tidak etis dan penuh benturan kepentingan.

Baca juga : Proporsional Terbuka, NasDem: MK Penjaga Konstitusi dan Demokrasi

"Harapannya pada 2024 publik lebih peduli lagi pada aturan main dan proses penyelenggaraan tahapan pemilu. Penting bagi publik untuk mengawal pelaksanaan tahapan pemilu dan mencermati gagasan calon agar tidak tersandera dan terperdaya oleh gula-gula politik yang penuh rekayasa," jelasnya.

Untuk mengimbagi pragmatisme hukum pemilu akibat kepentingan politis elite politik dan juga kebijakan penyelenggara pemilu yang menyimpang, maka harus terus didorong aktivisme hukum dari publik sebagai kekuatan penyeimbang. Masyarakat dan mahasiswa bisa memanfaatkan ruang-ruang pengujian hukum melalui MA ataupun MK dan lembaga hukum lain untuk menjaga dan menegakkan aturan main pemilu yang demokratis.

Selain itu, gerakan sosial untuk pengawalan tahapan pemilu dan memperkuat literasi pemilu warga harus lebih banyak lagi dilakukan berbagai kelompok masyarakat. Aktivisme hukum dan gerakan sosial masyarakat untuk literasi kepemiluan juga perlu ditopang dukungan aktivisme digital dengan memanfaatkan media sosial dan berbagai platform digital. Hal itu untuk memperluas efektivitas, jangkauan, dan dampak dari advokasi yang dilakukan.

"Masyarakat bisa menggunakan media sosial untuk menyampaikan perkembangan pemilu di daerahnya dan juga mengabarkan proses pemilu di TPS-nya pada hari H nanti, termasuk mempublikasikan hasil pemilu melalui akun media sosial mereka sebagai bagian dari kontrol sosial," tandasnya. (Van/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat