visitaaponce.com

Pengamat Perlu Ada Oposisi di Pemerintahan Prabowo-Gibran

Pengamat: Perlu Ada Oposisi di Pemerintahan Prabowo-Gibran
Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka.(AFP/YASUYOSHI CHIBA)

PENGAMAT kebijakan publik dan juga pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Yanuar Nugoroho mengatakan pemerintahan Prabowo-Gibran sangat memerlukan oposisi. Menurut dia, oposisi itu penting dalam suatu pemerintahan agar tidak ada kemutlakan dalam menentukan sebuah kebijakan.

“Kalau tidak ada oposisi, yang ada adalah kemutlakan. Perlu fungsi check and balances. Penyelenggaraan negara itu memang perlu dikawal,” ujarnya saat memberi kuliah ‘Pentingnya Oposisi dalam Demokrasi Indonesia dan Oposisi yang Beretika’, Selasa (23/4).

Dia memberi contoh terkait program makan siang gratis yang digagas oleh Prabowo-Gibran. Menurut dia, program tersebut akan melibatkan banyak kementerian dan lembaga dalam pengimplementasiannya.

Baca juga : Tim Transisi Dinilai Jadi Bentuk Intervensi terhadap Presiden Terpilih

Makan siang gratis untuk sekitar 82,9 juta anak sekolah dibutuhkan daging ayam 1,3 juta ton/tahun, daging sapi 500 ribu ton/tahun, ikan 1 juta ton/tahun dan beras 6.7 juta ton/pertahun.

“Itu melibatkan setidaknya 10 kementerian dan lembaga, kementerian pertanian, kementerian perdagangan, kementerian sosial, kemendikbud, kementerian kesehatan, Bulog, BUMN, Kemenag, UMKM, Kemendes, BPOM dan seterusnya. Di bawah koordinasi Kemenko Ekonomi, Kemenko PMK, Bappenas, Kemenkeu dan Kumham,” jelas Yanuar.

“Dari pengalaman saya di pemerintahan, program seperti ini kemungkinan kegagalannya besar. Terus bagaimana? Kok pesimis? Bukan, ini soal bagiamana penyelenggaraan negara dilakukan,” tambahnya.

Baca juga : Ada Wacana Koalisi Besar Pemerintah, Mahfud MD: Tetap Ada Peluang Oposisi

Pihak yang beroposisi di pemerintahan punya tugas untuk mengawal dan mengawasi implementasi program makan siang gratis itu agar berjalan dengan baik dan sesuai aturan hukum.

Alasan lain mengapa oposisi sangat penting dalam pemerintahan suatu negara, Yanuar menyebut agar meminimalisir kemungkinan terciptanya negara yang represif atau otoritarian. Kecenderungan negara yang anti-kritik dan anti-sanis sangat mudah ditemukan dalam pemerintahan yang tidak memiliki oposisi.

“Kalau tidak ada oposisi. Kecenderungan negara anti-kritik itu ada. Jangan mengkritik kebijakan makan siang gratis dong, jangan mengkritik food estate, jangan mengkritik kebijakan hilirasasi, kecenderungan pelemahan peran kritis media, kooptasi aktivis, akademisi ke dalam pemerintahan, dwi fungsi TNI, kembalinya pemerintahan rasa orde baru,” jelasnya.

“Saya memberi tahu kenyataan. PR yang harus dipikirkan, masyarakat sipil kita itu sudah lemah dan dilemahkan. Faktanya masyarakat sipil kita lemah. Gerakan pro-demokrasi terfragmentasi. Ini fakta. Jadi mengapa kita perlu oposisi? This another thing to address, suka tidak suka, mau tidak mau,” pungkasnya. (Z-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat