visitaaponce.com

Penanggulangan Kemiskinan Lewat Bansos tidak Patut Dibanggakan

Penanggulangan Kemiskinan Lewat Bansos tidak Patut Dibanggakan
Warga antre untuk menerima bantuan sosial program keluarga harapan (PKH) di Kantor Pos Cabang Utama, Bandung, Jawa Barat.(ANTARA/Raisan Al Farisi)

DIREKTUR Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai program pengentasan kemiskinan di era Joko Widodo bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Dia menyebut penanggulangan kemiskinan bergantung pada kebijakan bantuan sosial (bansos) bukan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas secara luas dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak Maret 2019 hingga Maret 2024, presentase penduduk miskin stagnan kisaran 9%. 

Pada Maret 2024, kemiskinan nasional tercatat sebesar 9,03% atau menjadi 25,22 juta orang. Penurunan angka kemiskinan secara tahunan (year on year/yoy) hanya 680 ribu orang terhadap Maret 2023.

Baca juga : Garis Kemiskinan RI Naik Diduga Gara-gara Bansos

"Penurunan angka kemiskinan di era Presiden Jokowi bukan sebuah prestasi yang dapat dibanggakan karena diraih atas kebijakan bansos yang sangat masif," ungkap Yusuf kepada Media Indonesia, Selasa (2/7).

Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, selain pemberian bansos reguler seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Bantuan Lansung Tunai (BLT) Dana Desa, pemerintah juga menggulirkan berbagai bansos ad-hoc tambahan yang nyaris tiada henti sejak awal 2023. Mulai dari bansos beras antara April-Desember 2023 yang kemudian diperpanjang hingga Juni 2024. Kemudian, bansos BLT El-Nino pada November hingga Desember 2023 dikucurkan dan diperpanjang hingga kuartal I 2024.

Pada awal 2024, BLT mitigasi resiko pangan untuk Januari-Maret 2024 juga diberikan. Yusuf berpandangan derasnya bansos tersebut dapat meningkatkan daya beli dan pengeluaran warga miskin dalam jangka pendek.

Baca juga : DPR Menilai Korban Judi Online Tidak Bisa Otomatis Mendapatkan Bansos

"Tidak heran bila pada Maret 2024 angka kemiskinan turun," kata Yusuf.

Dia menjelaskan anggaran bansos meningkat tajam jelang Pilpres 2024, padahal dianggap tidak ada kegentingan ekonomi yang luar biasa. 

Anggaran belanja bansos disebut menunjukkan pola siklus anggaran politis atau political budget cycle, dengan dana bansos terus dipertahankan meski pandemi telah berakhir. 

Baca juga : Mensos Tri Rismaharini Jelaskan Program Pena kepada Direktur OECD

Direktur Ideas itu mencatat anggaran belanja bansos pada 2023 diproyeksikan Rp146,5 triliun dan pada 2024 naik menjadi Rp152,3 triliun, jauh meningkat dari anggaran bansos sebelum pandemi yang hanya Rp112,5 triliun di 2019.

"Upaya ini tidak mencerminkan kinerja penanggulangan kemiskinan, lebih mencerminkan hasrat politik untuk meraih dukungan elektoral secara instan. Politisasi bansos terlihat menguat signifikan di era Jokowi," tuding Yusuf.

Dia berpandangan motivasi elektoral untuk politisasi bansos telah mendistorsi substansi dan arah besar kebijakan penanggulangan kemiskinan di era Presiden Jokowi menjadi terfokus pada bansos. 

Baca juga : Tanpa Bansos dan Efek Jokowi, Suara Prabowo-Gibran tidak Tembus 58 Persen

Padahal, penanggulangan kemiskinan seharusnya berfokus pada pemberdayaan ekonomi rakyat (UMKM) dan penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas secara luas, bukan memperbesar pemberian bansos.

"Bansos seharusnya semakin kecil cakupannya seiring perbaikan kesejahteraan masyarakat, bukan justru semakin meluas ditengah perekonomian yang diklaim semakin baik," pungkasnya.

Pemerintah diminta fokus melakukan pemberdayaan ekonomi rakyat. Seperti di sektor pertanian yang masih menjadi tumpuan 28,4 juta rumah tangga pedesaan di seluruh Indonesia. Namun, dalam 10 tahun terakhir, jumlah petani gurem justru bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023.

Di sisi lain, penciptaan lapangan kerja formal yang berkualitas semakin terbatas. Dalam dekade terakhir, industri padat karya nasional dianggap semakin melemah daya saingnya, bahkan telah terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal seiring tutupnya pabrik-pabrik tekstil hingga alas kaki. (Z-1)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat